Ekonomi China Melemah, Rupiah Tembus Rp10.000 per Dolar

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVAnews - Pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia (JISDOR), Selasa 16 Juli 2013, nilai tukar dibuka di level Rp10.036 per dolar AS.
Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wapres Terpilih, Ganjar: Tidak Dapat Undangan

Sementara itu, pada perdagangan sebelumnya, rupiah bercokol di posisi Rp10.024 per dolar AS.
Jokowi Datang Melayat ke Mooryati Soedibyo, Ikut Salat Jenazah

Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah adalah dampak sensitif dari ekonomi global, termasuk indikasi membaiknya Amerika Serikat, sehingga menimbulkan tekanan pada nilai tukar negara kawasan.
Sindir PDIP yang Gugat KPU ke PTUN, Nusron: Silakan, Tidak Berdampak Apa-apa

"Ada dua kemungkinan analisis secara obyektif-fundamental. Rupiah memang sedang mengikuti tren global, di mana semua mata uang di seluruh dunia melemah terhadap dolar AS, karena ada tanda-tanda kuat perekonomian AS membaik," kata Tony kepada VIVAnews di Jakarta.

Selain itu, Tony menjelaskan, China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, kini sedang mengalami permasalahan dengan kinerja ekonominya. Perekonomiannya hanya tumbuh sebesar 7,4 persen pada kuartal II-2013 atau lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya 7,7 persen.

Bahkan, dia melanjutkan, hingga akhir tahun, ekonomi China diprediksi tumbuh 7,5 persen. Kondisi tersebut tentu saja dikhawatirkan dapat mengurangi daya serap produk-produk Indonesia.

"Daya serap terhadap produk-produk Indonesia anjlok, sehingga defisit perdagangan membesar. Tahun lalu, defisit kita US$1,6 miliar. Tahun ini bisa membengkak menjadi US$4 miliar. Ini cukup menguras cadangan devisa," jelasnya.

BI Rate
Sementara itu, terkait kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen, menurut dia, cukup untuk membendung inflasi. Namun, kebijakan itu belum mampu menenangkan pasar, seiring dengan ketidakseimbangan tekanan pada mata uang rupiah.

"BI Rate yang sudah dinaikkan menjadi 6,5 persen belum cukup menenteramkan deposan bank, karena ekspektasi inflasi di atas tujuh persen. Karena itu, BI Rate tampaknya harus naik lagi awal bulan depan," ujar Tony.

Menghindari pelemahan yang semakin dalam, Tony menyarankan agar BI mulai berhati-hati menggunakan cadangan devisa dan membiarkan rupiah bergerak sesuai dengan fundamental ekonomi.

"Mungkin kita juga harus mulai menyadari bahwa rupiah memerlukan ekuilibrium baru di atas Rp10.000 per dolar AS. Ini sebenarnya tidak masalah, karena di saat krisis subprime mortgage 2008-2009, kurs rupiah Rp12.000 per dolar AS," ungkapnya. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya