Cerita Awal Sukses Usaha Rumahan Kaos C59

Pendiri kaos C59 Marius Widyarto Wiwied
Sumber :
  • Dok. C59
VIVA.co.id
Miliarder Sara Blakely Berbagi Nasihat Bisnis Terbaiknya
- Kesuksesan merek Kaos C59 dibangun oleh Marius Widyarto Wiwied sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). 

Tak Selesai Kuliah, Ahmed Haider Ciptakan Aplikasi Drone
Mulanya, ia meminjam 50 buah kaos polos ke orangtua temannya yang berbisnis konveksi. Ia pun mengutang uang sebanyak Rp10 ribu untuk mencetak sablon gambar pada kaos tersebut. Lalu, kaos-kaos itu ia jajakan di kelas. Tak butuh waktu lama, semua kaos itu langsung ludes terjual.
 
Kisah Shelby Clark Temukan Ide Aplikasi Penyewaan Mobil
“Mulainya dari 50 kaos itu. Lulus SMA di tahun 1974 terus saya kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung. Nah di situlah saya benar-benar menjadi makelar kaos, penghubung antara si konsumen dengan tukang sablon,” ujar Wiwied ketika ditemui di Bandung.
 
Lama kelamaan skala bisnisnya makin membesar. Meski masih iseng-iseng ternyata bisnis ini bisa memberikan kehidupan yang layak, walaupun harga kaosnya tak terlalu mahal. Tahun 1977-an omsetnya sudah mencapai Rp35 juta per bulan.

Hidup ini pada akhirnya memang sebuah pilihan. Ia memilih tak melanjutkan kuliahnya.
 
"Keasikan berbisnis, akhirnya kuliah saya kalah. Bagaimana tidak asik, dari bisnis itu saya sudah bisa membeli rumah sendiri. Padahal, saat itu saya belum menikah," ceritanya.
 
Tanggal 12 Oktober 1980, ia menikahi gadis pujaannya, Maria Goreti Murniati. Usai menikah, ia mulai serius berbisnis kaos. 

"Dari yang semula hanya iseng-iseng, kali ini jangan dibuat iseng-iseng lagi. Saya harus serius. Setelah menikah, saya datang ke setiap sekolah, bank, instansi dan lain-lain untuk menawarkan kaos," katanya.

Kebetulan Wiwied memiliki banyak teman di sejumlah kampus di Kota Bandung. Dia pun membangun jaringan penjualan di Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran, dan beberapa kampus lokal lainnya. 

"Saya buat itu sebagai jaringan penjualan. Dengan koneksi itu, bisnis saya menjadi lancar,” ujarnya.
 
Soal modal untuk memulainya ia harus rela menjual kado pernikahan untuk membeli mesin sablon. 

“Saat kuliah saya kan hanya sebagai calo saja, saya belum punya alat-alat. Setelah menikah saya ingin mempunyai alat seperti mesin jahit, mesin obras dan peralatan sablon. Akhirnya saya menjual kado-kado pernikahan. Terkumpullah uang sekitar Rp5 juta. Saya pun bisa membeli mesin,” ungkap peraih penghargaan Upakarti di tahun 1996 ini.
 
Wiwied mulai mengoperasikan usahanya dari rumahnya di Jalan Caladi nomor 59 yang kemudian nama tersebut dijadikan merknya, C59. Perlahan bisnis yang dinakhodainya makin berkembang pesat.
 
Dalam perjalanannya, tahun 1986, ia sudah mampu membeli 20 mesin. Dan pada tahun 1990, C59 semakin berkembang dengan membangun pabrik dan fasilitas modern. Bersamaan dengan dibangunnya toko retail (showroom) yang pertama di jalan Tikukur nomor 10 Bandung.
 
"Awalnya kesulitannya sama soal permodalan. Tapi, itu bisa saja menjadi nomor 10 karena sumber daya manusia yang utama. Pasar saya selalu tumbuh. Secara omset dan aset pun cukup baik," cetusnya.
 
Sekitar tahun 1993-1994, C59 pun berdiri secara sah sebagai perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Caladi Lima Sembilan, dan Marius Widyarto Wiwied sebagai Direktur Utama. 

Seiring dengan itu, ekspansi pun terus dilakukannya ke seluruh pelosok negeri. Selain membuka toko sendiri, ia juga sempat bekerjasama dengan beberapa department store yang menyalurkan kaos produksinya hingga ke Jakarta, Balikpapan, Yogyakarta, Ujung Pandang, Lampung dan Malang.

Sebagai titik puncaknya, di tahun 2000, penjualannya bahkan merambah hingga Eropa Tengah seperti Ceko, Slovakia dan Jerman. 

"Ketika itu saya mempunyai 600 reseller, penjualan berupa toko di seluruh Nusantara dan Eropa," tuturnya.

Namun, ledakan bom Bali menjadi bencana. Juga krisis krisis ekonomi global turut berperan dalam memusnahkan toko-toko penjualannya. 

"Saat bom Bali meledak, toko-toko saya di Eropa mendadak sepi. Citra Indonesia di mata dunia menjadi negatif. Imbasnya toko-toko itu kemudian tutup," ucapnya.

Peran krisis ekonomi dunia memperlengkap penderitaannya. Sebagai sebuah bisnis yang memiliki risiko tinggi dan bergantung pada bahan baku impor, bisnisnya ikut tergoyang.

"Bahan baku industri ini semuanya impor. Kapas impor bahkan jarum pun impor. Saya terkena dampak dari krisis ini," ujarnya.

Akhirnya, Wiwied mundur dari penjualan dan beralih ke produksi saja. Sekarang cabangnya hanya ada di Bali, Yogyakarta dan Jakarta. Reseller sudah tidak ada lagi, begitu juga dengan penitipan ke department store. 

"Saya kembali lagi ke pemesanan. Lebih banyak memasarkannya ke instansi, sekolahan dan komunitas-komunitas, banyak orderan datang dari sana,” ungkapnya. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya