Pemerintah Diminta Sesuaikan Harga Gas

Pemanfaatan Gas Bumi untuk Industri
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Asosiasi industri berharap pemerintah segera menyesuaikan harga gas, agar industri di dalam negeri lebih kompetitif, mengingat harga gas di luar negeri saat ini mengalami penurunan.

Menurut Sekjen Federasi Industri Kimia Indonesia, Ridwan Adipoetra, harga minyak mentah dunia saat ini, turun 75 persen mencapai 30 dolar Amerika Serikat per barel. Hal ini, kemudian diantisipasi pemerintah dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) melalui deregulasi tahap III.

Komisi VII Desak Pemerintah Atur Disparitas Harga Gas

"Namun, sayangnya harga gas sampai saat ini tidak berubah," kata dia, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 3 Februari 2016.

Ridwan menambahkan, kalau hal seperti ini dibiarkan akan membuat industri kimia di dalam negeri semakin sulit bersaing. Penyesuaian harga gas baru diberikan kepada industri pupuk dari 10 dolar AS per MMBTU menjadi 7 dolar AS per MMBTU.

Dia mengatakan, industri kimia tidak menuntut harus turun 75 persen sesuai harga minyak mentah, tetapi turun sebesar 20 persen saja sudah sangat membantu dari posisi saat ini berkisar delapan sampai 10 dolar AS per MMBTU.

Ridwan mengaku harga gas di berbagai negara saat ini berbeda-beda, namun yang jelas telah mengalami penurunan. Mungkin kalau dirata-ratakan harga gas saat ini sekitar 5 dolar AS per MMBTU, tentunya dengan harga yang semakin tinggi di dalam negeri akan menyulitkan bagi industri untuk berkembang.

Dia menunjukkan contoh harga ember di supermarket saat harga minyak mentah di luar negeri masih tinggi sekitar 120 dolar AS per barel, dengan kondisi sekarang 30 dolar AS per barel relatif masih sama, bahkan harganya naik.

Ridwan mengatakan, kondisi membuat industri kimia di dalam negeri semakin terjepit, dan untuk ekspor sulit bersaing. Sedangkan di dalam negeri, daya beli masyarakat semakin terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk menaikkan harga.

Menurutnya, belum turunnya harga gas ini akan berpengaruh kepada industri yang mengonsumsi gas sebagai bahan baku seperti industri petrokimia, serta industri keramik yang rata-rata komponen gas dipergunakan 10 sampai 50 persen.

Hal serupa juga disampaikan Sekjen the Indonesian Olefin and Plastic Association (INAPLAS), Fajar Budiono. Ia mengatakan, harga gas saat ini tidak berubah masih 8,5 sampai 10 dolar AS per MMBTU. Padahal, kalau melihat harga di luar negeri seharusnya bisa di bawah 6 dolar AS per MMBTU.

Kalau harganya sudah berbeda dengan luar negeri, jelas bagi industri plastik dan petrokimia di dalam negeri semakin sulit untuk bersaing. Apalagi dalam waktu dekat menghadapi MEA, sedangkan harga gas di negara ASEAN sudah dilakukan penyesuaian sejak lama.

Fajar mengaku pihaknya dalam berbagai forum dengan Kementerian Perindustrian telah meminta, agar harga gas segera dilakukan penyesuaian mengikuti harga yang berkembang di pasar.

Dia mengatkaan, kalau harga gas masih manteng di posisi 8 - 10 dolar AS per MMBTU, tidak tertutup kemungkinan industri petrokimia dan plastik akan mencari bahan baku subtitusi seperti batu bara.

Menurut dia, untuk beralih ke batu bara sangat dimungkinkan, karena awal industri petrokimia memang menggunakan batu bara. Bisa juga menggunakan solar dengan harga industri, mengingat harganya saat ini Rp6.200 per liter masih terjangkau ketimbang harga gas.

Namun, diakuinya, persoalannya masih ada industri yang telah terlanjut menggunakan 100 persen gas. Untuk yang industri ini, memang tetap bergantung kepada gas tidak bisa disubtitusikan.

Penurunan Harga Gas Masih Tunggu Perpres
Sudirman Said, mantan Menteri ESDM.

Sudirman Yakin Kebijakan Harga Gas Nasional Tetap Positif

Padahal, publik mempertanyakan revisi aturan itu.

img_title
VIVA.co.id
24 Februari 2016