Persoalan Taksi Harus Ada Kesetaraan Bisnis

Ilustrasi sopir taksi menggelar aksi penolakan mobil angkutan penumpang berbasis aplikasi.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

VIVA.co.id - Pengamat ekonomi Yanuar Rizki mengatakan, persoalan antara taksi online atau berbasis aplikasi dan taksi resmi atau konvensional yang mengemuka saat ini, bukan karena perusahaan taksi resmi tidak melakukan inovasi, sehingga membuat tidak efisien. Tetapi, yang harus dilihat dalam hal ini adalah kesetaraan bisnis.

Kata Yanuar, seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Senin, 4 April 2016, kalau sekarang ingin meratifikasi fenomena business to business (b to b) seperti dikembangkan perusahaan application service provider (taksi online) yang dianggap inovasi, maka yang dihancurkan bukan taksi resmi, tetapi deregulasi aturan main.

"Pilihannya, regulasi industri transportasi dicabut menjadi industri bebas dan suka-suka (tidak ada peraturan masuk dan keluar yang diatur otoritas), atau tetap mempertahankan rezim perizinan," kata Yanuar.

Yanuar mengaku tidak setuju terhadap pendapat yang mengatakan penyedia jasa taksi resmi tidak efisien dalam hal tarif. "Tarif justru ditetapkan, karena ada regulasi, seperti, seragam sopir, database sopir, sertifikasi sopir, pul taksi, pemeliharaan, uji layak kendaraan (KIR), pajak (PPn, PPh), dan pungutan daerah," kata dia.

Menurut Yanuar, apa yang dilakukan perusahaan taksi berbasis aplikasi ini adalah mengganti salah satu proses, bukan produknya, yakni proses customer relationship management (CRM), pelanggan tidak perlu memesan melalui telepon, atau menunggu panas-panas di pangkalan.

Hal tersebut, lanjutnya, adalah inovasi di tingkat mikro, atau corporate level. Titik awal antara model taksi aplikasi dan konvensional adalah sama, yaitu tunduk pada regulasi yang ada.

Naik Uber dari Kasablanka ke Setiabudi, Bayarnya Rp595 Ribu!

Mematuhi ketentuan hukum yang berlaku adalah kewajiban dasar, di mana dalam hal transportasi telah diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum.

Yanuar mengatakan, terdapat dua pilihan bagi perusahaan taksi berbasis aplikasi, yakni ingin menjadi perusahaan transportasi yang berarti harus mengikuti aturan Kementerian Perhubungan. Kalau ingin menjadi penyedia layanan aplikasi, maka izin mengikuti aturan Kementerian Komunikasi, tapi mitra/armadanya tetap harus mendapat izin dari Kemenhub.

Karena itu, ujar Yanuar, negara memiliki peran penting untuk menjaga persaingan yang sehat. Ketegasan dan perubahan aturan main, serta model bisnis dan tarif yang wajar ada di tangan pemerintah. Tanpa itu, konflik horizontal sesama sopir yang hidup pas-pasan akan terus terjadi.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan, legalitas transportasi umum diperlukan demi keamanan dan keselamatan, baik bagi pengemudi maupun penumpangnya.

Penyelenggara taksi berbasis aplikasi, kata Jonan, harus berkerja sama dengan transportasi yang terdaftar. Kemudian juga harus memenuhi seluruh persyaratan seperti memiliki sim A umum dan uji KIR.

Jonan tidak mempersoalkan bisnis kerja sama ekonomi dalam taksi berbasis aplikasi, namun yang pasti armadanya harus terdaftar sebagai taksi, serta mengikuti seluruh regulasi yang sudah ada. (ase)

Ilustrasi Layanan taksi berbasis aplikasi online, Uber.

Jarak Dekat Bayar Rp595 Ribu, Uber Minta Maaf ke Pelanggan

Uber telah menghukum sopir UberX.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016