ADB Prediksi Ekonomi Asia Stabil Tumbuh 5,7%

Ekonomi China
Sumber :
  • REUTERS/China Daily

VIVA.co.id – Deputi Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Juzhong Zhuang, mengatakan, walaupun kondisi ekonomi sejumlah kawasan seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa masih belum pulih, namun menurutnya situasi ekonomi di kawasan Asia akan tetap stabil di tahun ini dan tahun 2017 mendatang.

Ibarat Infinity War, Erick Thohir Sebut Dunia Butuh Avengers

ADB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia pada 2016 dan 2017 akan berada di kisaran 5,7 persen. Juzhong menjabarkan, untuk kawasan Asia Timur, secara total perekonomian diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5,8 persen pada 2016, dan 5,6 persen pada 2017.

"Kita masih bisa melihat ekonomi Asia tumbuh di 5,7 persen pada tahun 2016 dan 2017. Tidak berubah dari proyeksi sebelumnya," kata Juzhong di kantor ADB Indonesia, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa 27 September 2016.

Bank Indonesia Proyeksi Ekonomi Global 2021 Tumbuh 5,1 Persen

Juzhong mengatakan, selain China, negara lain dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia Timur adalah Korea Selatan. Ekonomi China dinilai masih tumbuh tinggi mampu mengembangkan lambatnya pertumbuhan negara lain.

Di Asia Tenggara, ADB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen pada 2016, dan 4,6 persen di 2017. Negara dengan pertumbuhan tertinggi adalah Laos, Myanmar, dan Filipina, serta Kamboja yang tumbuh di atas enam persen.

ADB Sebut Pandemi COVID-19 Masih Bayangi Ekonomi Global pada 2021

Sementara ekonomi Indonesia sendiri diproyeksikan akan tumbuh sebesar lima persen pada 2016 dan, 5,1 persen untuk tahun 2017.

"Pada 2017 kawasan ini diperkirakan akan meraup manfaat dari kenaikan permintaan dari perekonomian maju, serta harga yang lebih tinggi untuk komoditas ekspor," ujarnya.

Juzhong menambahkan, secara keseluruhan, negara-negara di kawasan Asia sangat rentan terhadap kebijakan moneter dari negara-negara maju, sehingga kondisi tersebut tentunya harus diwaspadai secara serius.

"Para pembuat kebijakan perlu mewaspadai berbagai risiko negatif, termasuk potensi berbaliknya aliran modal yang bisa dipicu oleh perubahan kebijakan moneter di perekonomian maju, terutama Amerika Serikat," ujarnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya