Ada 400 Kasus Hambatan Perdagangan Ekspor Indonesia

Dua pekerja di Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok tengah melintas dengan sepeda motor.
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Kementerian Perdagangan mencatat Indonesia sering kali menghadapi berbagai kondisi menantang untuk menjaga keberlangsungan ekspor selama kurun waktu 1995-2016. Selama itu, Direktorat Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan mencatat telah menangani 400 kasus hambatan perdagangan produk ekspor Indonesia.

Terlibat Perang Dagang, Australia Siap Tuntut China ke WTO

Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyebutkan hambatan berbagai produk ekspor Indonesia tersebut, seperti hambatan trade remedies sebanyak 290 kasus dan hambatan teknis perdagangan sebanyak 110 kasus.

Kemudian, negara-negara yang aktif melakukan tuduhan terhadap Indonesia, antara lain Uni Eropa, India, Australia, dan Amerika Serikat yang masing-masing melakukan tuduhan lebih dari 20 kali dalam kurun waktu tersebut. Sementara produk ekspor Indonesia yang paling sering dihambat, adalah produk pertanian, produk kehutanan, produk kimia, produk besi baja, produk perikanan, aneka industri termasuk tekstil, sepatu, serta makanan.

Dirjen WTO Roberto Azevedo Umumkan Mundur Lebih Cepat

Sementara itu, Indonesia tercatat menggugat negara mitra dagang yang dianggap tidak konsisten dengan peraturan WTO ke forum Badan Penyelesaian Sengketa WTO, yang saat ini masih dalam penyelesaian adalah kasus kemasan polos produk tembakau dengan Australia, pengenaan bea masuk anti-dumping untuk produk biodiesel dan fatty alcohol Indonesia oleh Uni Eropa, dan pengenaan bea masuk anti-dumping dan anti-subsidi terhadap produk kertas Indonesia oleh Amerika Serikat.

Banyaknya persoalan penghambat ekspor hingga saat ini, diungkapkannya sebagai gambaran bahwa WTO belum dapat mewujudkan perdagangan internasional yang ideal, harmonis, dan adil.

Trump Coret RI dari Perlakuan Khusus, Ini Kata Kemenko Perekonomian

"Penurunan tarif yang disepakati pada awal pendirian WTO tidak dibarengi penurunan dan penghentian kebijakan non-tarif yang justru semakin menghambat arus perdagangan internasional," ucap Pradnyawati dalam keterangan tertulis resmi pada Selasa, 11 April 2017.

Sejak 1995 hingga 2016, ada 143 negara anggota WTO telah menotifikasi 43.265 kebijakan non-tarif. Bentuk kebijakan non-tarif itu meliputi standar, regulasi teknis, isu kesehatan, lingkungan, termasuk instrumen trade remedies berupa tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard.

Sehingga, ia menekankan bahwa dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk menjaga keberlangsungan akses pasar produk-produk Indonesia di negara mitra tujuan ekspor.

“Pemerintah mengharapkan komunikasi dan keterlibatan secara rutin dari pelaku usaha dan instansi daerah dalam menghadapi hambatan ekspor yang menghadang. Sedangkan peran dunia akademik sangat krusial dalam melahirkan talenta baru di bidang hukum dan perdagangan internasional, dengan sumbangan pemikiran yang dapat berkontribusi mengamankan kepentingan perdagangan Indonesia,” tegasnya.

Untuk mengimpun kontribusi dari dunia akademisi, Kemendag melalui DPP pun menggelar DPP Goes to Campus di tiga universitas, yaitu Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung, Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Acara ini berlangsung selama April 2017 secara bergiliran, yaitu pada 6 April 2017 di Unpad, 12 April 2017 di Unhas, dan UGM pada 27 April 2017.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya