Masalah Izin Lahan Kembali Ganjal Kredit Perumahan Nelayan

Ilustrasi perumahan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

VIVA.co.id – PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk telah mengeluarkan produk Kredit Pemilikan Rumah Mikro atau KPR Mikro, yang khusus ditujukan bagi para pekerja di sektor informal pada akhir Februari 2017 kemarin.

70 Tahun Beroperasi, BTN Sudah Salurkan Kredit Rp595,2 Triliun

Namun, dalam perjalanannya selama hampir dua bulan ini, Direktur Consumer Banking BTN, Handayani, mengaku antusiasme para pekerja informal terhadap produk ini kerap dihadapkan langsung dengan kendala utama, yakni terkait masalah perizinan lahan.

"(Minat masyarakat) sangat bagus. Saat kita luncurkan KPR Mikro di Semarang, responsnya sangat baik. Tapi masih suka terkendala dari status pertanahan," kata Handayani di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Rabu 12 April 2017.

Pengajuan KPR BTN Kini Bisa Lewat Ponsel Pintar

Dia menjelaskan, sejumlah kasus yang kerap ditemui di lapangan terkait masalah pertanahan ini, umumnya merupakan masalah status perizinan tanah yang telah sejak lama tidak ditangani oleh para pemilik lahan akibat minimnya akses kepengurusan di daerah mereka.

"Umumnya mereka memiliki tanah yang sifatnya tanah adat, tanah girik. Selama ini mereka tidak memiliki akses untuk mengurus itu," ujar Handayani.

Cara Pilih KPR yang Cocok dengan Kondisi Dompet

Oleh karenanya, pihak BTN, lanjut dia akan menggandeng Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk membantu kendala-kendala serupa di lapangan, demi memberikan kemudahan dalam proses perizinan tanah.

Selain itu, demi melihat tingginya antusiasme masyarakat pekerja sektor informal terhadap produk KPR Mikro ini, maka BTN juga telah mengalokasikan dana sekitar Rp250 miliar, sebagai plafon yang disediakan bagi tiga kelompok pekerja di sektor informal.

"Yang jadi fokus utama untuk nasabah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) informal, khususnya adalah para pedagang kecil, nelayan, dan petani. Kemarin kita sudah alokasikan kira-kira Rp250 miliar plafon untuk tiga kelompok itu," ujarnya. (ren)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya