Ubah Batas PTKP, Ditjen Pajak Harus Cari Formulasi Tepat

Kantor Ditjen Pajak di Jakarta.
Sumber :
  • REUTERS/Iqro Rinaldi

VIVA.co.id – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berencana untuk mengubah batasan Pendapatan Tidak Kena Pajak yang saat ini berada di angka Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun. Rencananya, PTKP akan diubah sesuai dengan Batas Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Regional.

Jokowi Ajak Masyarakat Lapor SPT Pajak Tahunan Lewat e-Filing

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, memandang, keputusan tersebut harus diiringi dengan kebijakan yang komprehensif dan holistik. Ditjen Pajak, kata Prastowo, harus memetakan secara jelas persoalan yang dihadapi, beserta solusi yang akan diterapkan.

Menurut Prastowo, upaya ini untuk menghindari stigma di benak masyarakat bahwa rencana perubahan PTKP tidak hanya untuk mengejar penerimaan negara, melainkan juga mempertimbangkan aspek berkelanjutan terhadap kondisi perekonomian dalam negeri secara keseluruhan.

Jadi Tersangka, Dua Penyuap Angin Prayitno Aji Ditahan KPK

“Sepanjang PTKP itu proporsional dengan tingkat upah, seharusnya tidak masalah. Karena konsep PTKP memang biaya minimum yang dibutuhkan wajib pajak untuk dapat bekerja menghasilkan,” kata Prastowo, melalui pesan singkat kepada VIVA.co.id, Kamis 20 Juli 2017.

Prastowo tak memungkiri, kebijakan PTKP yang dipukul rata secara nasional tidak adil, karena level daya beli dan beban hidup masyarakat berbeda-beda di tiap daerah. Artinya, selain menggerus penerimaan, kebijakan PTKP saat ini justru dimanfaatkan sebagian kalangan yang memiliki biaya hidup yang tinggi.

Kasus Pencucian Uang, KPK Sita Aset Puluhan Miliar Eks Pejabat Pajak

“Yang punya kemampuan membayar lebih tinggi, tidak bayar pajak. Usul saya, dibuat tabel dari persentase UMR,” ujarnya.

Ditjen Pajak, kata Prastowo, pun harus memetakan daerah-daerah potensial yang selama ini menjadi penghambat penerimaan. Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, menurut Prastowo, merupakan daerah-daerah potensial yang bisa dimanfaatkan.

“Jadi idenya sudah tepat, tapi yang penting formulasinya harus tepat. Karena ada gap antara lokasi kerja dan domisili biaya hidup riil. Maka zonasi lebih tepat,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya