Laporan dari Taiwan

Di Bawah Ancaman Rudal, Taipei Tetap Tenang

Ilustrasi: misil China
Sumber :
  • Reuters

VIVAnews – Kehidupan berjalan normal di Taipei, Kamis 17 November 2011. Pusat perbelanjaan dan restoran tetap ramai pengunjung, lalu lintas masih padat di jam-jam sibuk dan banyak orang berlarian menghindari guyuran hujan.

Soal Flu Singapura, Menkes Singgung Virus Terus Berkembang

Tak ada ekspresi ketakutan apalagi panik. Padahal, dalam jarak relatif dekat – sekitar 1.000 kilometer -- rudal dari China Daratan (Republik Rakyat China) mengarah ke Taipei, ibu kota Republik China atau populer disebut Taiwan.

Tak hanya satu, tapi ribuan rudal. Kalangan pengamat memperkirakan, ada 1.600 misil yang mengarah ke Taiwan. Seperti dimuat Taipei Times, 17 Maret 2011, China juga memiliki rudal balistik jarak jauh, DF-16, yang tak hanya bisa menjadi ancaman bagi negara pulau itu, tapi juga pangkalan pangkalan militer AS di Guam dan Okinawa.

Pekan Depan, MK Batasi Jumlah Saksi di Sidang Sengketa Pilpres 2024

“Bayangkan saja, sekarang kita duduk di ruangan ini sementara ribuan misil mengarah ke Anda. Dan ini nyata,”  kata Direktur Jenderal Hubungan Taiwan-Hong Kong-Makau, James Shi Chu, di depan peserta Taiwan Study Camp for Future Leaders, Kamis 17 November 2011.

Hubungan China Daratan dan Taiwan yang makin membaik pasca kepemimpinan Presiden Ma Ying-jeou -- dari Partai Kuomintang --  pada 2008 tak lantas mengakhiri aksi militer itu. Alasan utamanya, China tak mengakui kedaulatan Taiwan yang didirikan sejak 1949. Sementara dalam perspektif Taiwan, mereka adalah negara merdeka yang berdaulat.

Rekomendasi Makanan yang Bisa Menjaga Kulit Lebih Sehat dan Bersih, Apa Saja?

James Shi Chu menambahkan, hubungan dua negara sangat unik.  Awalnya  tak ada kontak sama sekali, kemudian makin mendekat di bawah pemerintahan saat ini. “Terjalin hubungan ekonomi, perdagangan , dan pariwisata. Jutaan orang saling berkunjung,” kata dia.

Juga hubungan yang melibatkan hati: pernikahan. “Banyak laki-laki Taiwan yang menikahi perempuan China, sekitar 360.000 orang. Kedua negara sangat dekat dalam beberapa aspek,” dia menambahkan.

Bagaimanapun, James Shi Chu menjelaskan, ada beberapa penghalang utama hubungan dua negara. Selain ancaman rudal , Taiwan juga menghadapi persoalan serius terkait hal peran dalam masyarakat internasional. “Meskipun  kecil, dengan 23 juta penduduk, Taiwan adalah salah satu negara dengan perdagangan terbesar di dunia, kami punya sistem politik di mana masyarakat bisa memilih langsung anggota parlemen dan presidennya. Kami warga yang baik di lingkungan global.”

“Kami punya kualifikasi untuk menjadi anggota PBB,  tapi karena faktor China, kami sangat terisolasi secara diplomatis,” kata dia. Taiwan bahkan tidak bisa menjadi anggota salah satu organisasi di PBB, seperti  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), misalnya. “Meski demikian, ada sedikit perkembangan. Kami sekarang menjadi observer di WHA (World Health Assembly)."

Penghalang lain, dia menambahkan, adalah perbedaan nilai yang signifikan antara Taiwan dan China. Yang satu komunis, yang lain demokratis dan menghargai kebebasan individu. “Itu yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat Taiwan terhadap China.

Permasalahan politik juga tak bisa menjami kelanggengan hubungan China-Taiwan yang membaik akhir-akhir ini. “Jika oposisi menang (Democratic Progressive Party), tak satu orang pun bisa menjamin, akan tetap ada pembicaraan tingkat tinggi dengan China. Sebab, ada distrust antara China dengan oposisi."

Namun, setidaknya, Taiwan relatif aman dari serangan rudal China, selama ia tak mendeklarasikan kemerdekaannya.  Tapi, menurut, James, “sejatinya kami sudah merdeka. Tak ada satu negara pun yang harus memproklasikan kemerdekaan dua kali.”

Merdeka atau Reunifikasi

James Shi Chu mengatakan, yang sebenarnya diinginkan Taiwan adalah kebebasan dan perdamaian. Di sisi lain, China menawarkan reunifikasi – dengan jaminan Taiwan tetap bebas, dan menjadikan Macau juga Hong Kong sebagai model.

Pilihan reunifikasi dengan China atau merdeka menjadi isu jangka panjang.  Jajak pendapat dilakukan untuk mengetahui opini publik soal masalah ini.

Jajak pendapat terakhir yang dilakukan Election Study Centre, National Chengchi University, Taipei pada September 2011 menunjukkan, mayoritas responden (33,6 persen) memilih mempertahankan status quo saat ini dan keputusan masa depan Taiwan dibicarakan lain waktu.  Peringkat kedua atau 25,9 persen memilih mempertahankan status quo, 17,1 persen memilih status quo, kemerdekaan menyusul, sementara 10,6 persen memilih status quo, reunifikasi menyusul.

Lalu bagaimana dengan pilihan merdeka atau bersatu dengan China an sich?

Tidak terlalu populer. Hanya 5,6 persen yang menginginkan kemerdekaan secepatnya. Sementara dalam jumlah yang jauh lebih kecil, 1,4 persen memilih bersatu dengan China sesegera mungkin.

Mempertahankan status quo mungkin pilihan terbaik saat ini. “Dengan kata lain, tak ada reunifikasi, tak ada kemerdekaan.”

Dalam kesempatan berbeda, Dr Alexander Chieh-cheng Huang, dosen  Strategy and Wargaming Graduate Institute of Strategic Studies, Tamkang University mengatakan, warga Taiwan tak terlalu tertarik dengan politik.

“Kami punya  lima stasiun berita, mirip  CNN yang siaran 24 jam, juga talk show soal politik. Namun, yang terjadi,  wine dan minuman keras laris di sini, orang-orang lebih memilih ke taman dari pada menonton televisi,” kata dia.

Soal ancaman misil China, Alexander yakin, mereka tak benar-benar ingin menyerang Taiwan. Meski, “jika mereka menembakkan rudal, kami  hanya punya waktu 7 menit untuk lari.” China tak benar-benar ingin menghabisi 23 juta penduduk Taiwan.  “Mereka hanya ingin kami, demokrasi, menyerah.”

Sebaliknya, Taiwan juga  tak mungkin menyerang Shanghai -- misalnya. “Karena banyak orang Taiwan hidup di sana. Tak mungkin membunuh saudara kami sendiri.”

Dia juga sepakat, pandangan populer saat ini adalah mempertahankan status quo. Mayoritas warga beranggapan, ini adalah pilihan terbaik saat ini. Tidak untuk reunifikasi, juga tidak merdeka. Sebab, keduanya memiliki risiko pahit. Kemerdekaan dengan mempertaruhkan keselamatan Taiwan. Sebaliknya, “reunifikasi  tidak baik untuk Taiwan.”

Alih-alih soal politik, Alexander berpendapat, tantangan riil yang dihadapi Taiwan saat ini adalah memastikan keamanan di bidang ekonomi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya