Pengakuan Memilukan Tahanan Politik Korea Utara

Perempuan prajurit Korea Utara berpawai di Ibukota Pyongyang
Sumber :
  • REUTERS/Bobby Yip
VIVAnews -
Momen Lebaran, Bos Pos Indonesia Tegaskan Nonstop Layani Transaksi Masyarakat
Korea Utara memperlakukan warganya yang ditahan di kamp konsentrasi politik secara keji. Para tahanan diperlakukan secara tidak manusiawi bahkan mereka dibunuh tanpa melalui proses persidangan terlebih dahulu.

12 Adab di Hari Idul Fitri yang Perlu Dilakukan Umat Muslim

Kesaksian dua warga Korut bernama Kim Hye-sook dan Lee Myung-sook setidaknya membuktikan kebenaran pernyataan itu. Kedua wanita ini berbagi kisah memilukan tersebut kepada publik Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kamis 23 Mei 2013.
Pengemudi yang Gagal Drift hingga Tabrak Starling dan Ojol Diamankan Polisi


Kisah pertama datang dari Hye-sook yang telah ditahan di kamp pertahanan politik selama 28 tahun. Wanita berusia 51 tahun ditangkap bersama dengan suami dan keluarga intinya.

Awalnya Hye-sook tidak mengerti mengapa dia dan keluarganya harus ditahan di kamp konsentrasi. Dia mengatakan ditahan di kamp pertahanan politik nomor 18 seluas 40 kilometer dengan penjagaan yang sangat ketat.

Hye-sook berkisah, ada 3.000 tentara Korut yang menjaga di kamp konsentrasi tersebut. Saat dia berhasil kabur di tahun 2002, Hye-sook menghitung ada sekitar 40 ribu warga Korut yang ditahan di sana.


"Tapi di sekeliling perbatasannya dibangun tembok setinggi empat meter dan dilengkapi kawat berduri. Selain itu kawat berduri tersebut juga dialiri listrik tegangan 3.300 volt," ungkap Hye-sook.


Semua pengamanan itu dilakukan demi mencegah para napi kabur dari kamp. Di luar tembok perbatasan digambarkan oleh Hye-sook terdapat sungai, di mana tentara Korut sering mengeksekusi para napi karena dianggap melanggar beragam aturan.


Hye-sook menceritakan selama terkurung 28 tahun di dalam kamp, dia dan para napi lainnya diharuskan melakukan kerja paksa. Dia bekerja selama 16 jam per hari dan tanpa istirahat.


"Apabila kami sedikit saja terlihat santai seperti menggerakan pinggang atau bermuka masam, para tentara akan memukuli kami hingga babak belur," tutur Hye-sook.


Tugas Hye-sook setiap hari adalah memenuhi dua gerbong kereta dengan batu bata. Hal itu diakuinya harus dilakukan seorang diri.


Namun tidak hanya itu saja dia juga diharuskan ke bukit untuk mencari kayu. Kemudian kayu itu diantar ke rumah para tentara Korut untuk ditukar dengan butiran jagung sebagai bahan makanan.


Jual Daging Manusia


Tak jarang banyak napi yang mati akibat kelaparan di kamp itu. Bahkan menurut Hye-sook, dia memiliki seorang rekan yang tega membunuh putranya sendiri dan memutilasi jenazahnya.


"Teman saya ini kemudian menjual potongan tubuh putranya kepada pedagang dan diakui sebagai daging babi. Dia kemudian mendapat ganti jagung kering," kata Hye-sook.


Sayang, teman wanita Hye-sook ini tertangkap tangan oleh tentara Korut sedang memasak jagung kering yang dia peroleh dari penjual daging. Alhasil dia ditangkap dan ditembak mati.


Lain lagi kisah memilukan yang meluncur dari bibir Lee Myung-sook. Wanita berusia 46 tahun itu diketahui pernah menjadi tentara AL Korut selama sepuluh tahun.


Nasib membawanya ke kamp konsentrasi karena dia dikembalikan oleh tentara China karena kabur dari pria yang membeli keperawanannya. Myung-sook dijual oleh seorang broker Jepang yang awalnya mengiming-imingi dia pekerjaan.


"Saya dibeli oleh seorang pedagang China yang kakinya cacat. Namun tiap kali mabuk, pria itu selalu menyiksa saya. Bahkan saya kerap diperkosa, hingga hamil," ujarnya.


Dia terpaksa melahirkan di dalam kamp pada 7 November silam. Tetapi tentara Korut memerintahkan untuk membunuh anaknya.


"Namun saya menolak. Akhirnya setelah anak saya lahir, salah seorang tentara membalikkan posisi anak saya dari terlentang ke tengkurap. Tak lama kemudian anak saya mati," ungkap Myung-sook.


Jasad bayinya bukan langsung dimakamkan oleh tentara Korut, tetapi malah disimpan di gudang menunggu hingga waktu 10 hari.


"Karena kebiasaan mereka apabila ada orang yang meninggal di dalam kamp, jasadnya dikumpulkan dulu hingga sepuluh hari di dalam gudang. Akhirnya banyak jasad yang membusuk dan jadi santapan tikus," kata Myung-sook


Kini keduanya telah berhasil kabur dari kamp konsentrasi dan menetap di Korea Selatan. Namun kedua wanita itu mengaku masih kerap berjuang melawan rasa trauma akibat peristiwa miris yang mereka alami selama puluhan tahun. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya