PBB: Kondisi Kamp Pencari Suaka di Papua Nugini Tak Layak

Bentrok Rakhine-Rohingya Tewaskan 84 Orang
Sumber :
  • Reuters/Soe Zeya Tun
Freeport Boss Meets Jokowi to Discuss Mining Contract Extension
VIVAnews - Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) mengeluarkan sebuah laporan pada Selasa, 26 November 2013 malam mengenai kondisi kamp bagi para pencari suaka di Pulau Manus dan Nauru di Papua Nugini. Hasilnya, ratusan pencari suaka berada dalam status limbo dengan kondisi serius akibat kesehatan jiwa mereka. 

Hadiri Buka Puasa Partai Golkar, Prabowo-Gibran Duduk Semeja dengan Airlangga
Harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Rabu 27 November 2013 melansir informasi bahwa kamp pencari suaka di dua pulau itu lebih berfokus untuk mendorong imigran ilegal agar mereka kembali lagi ke negara asalnya, ketimbang menjadikan kamp itu sebagai tempat yang aman, nyaman dan sesuai dengan standar kemanusiaan. Perwakilan UNHCR berkunjung ke kedua kamp tersebut pada bulan Oktober lalu dan bertemu 95 anak yang ditahan di sana. 

Jumat Agung, Presiden Jokowi Ajak Resapi Makna Pengorbanan Yesus Kristus
Inspektur UNHCR menyebut anak-anak itu tinggal di tempat yang panas, lembab, dan kondisi yang sesak dengan sedikit privasi. Mereka juga tidak bersekolah. 

Melihat fakta tersebut, orang tua mereka khawatir dengan kondisi kesehatan mental mereka. Saat tim UNHCR berkunjung, terdapat 801 pencari suaka di Pulau Nauru dan 1091 di Kepulauan Manus, termasuk dua anak yang tidak didampingi oleh orang tua mereka. 

Dari sekian banyak pencari suaka di Pulau Nauru, hanya ada satu di antara mereka yang memiliki akses perlindungan setelah memprosesnya selama 14 bulan. Sementara tidak ada satu pun pencari suaka di Kepulauan Manus yang telah diproses sejak 12 bulan lalu berada di PNG. 

Padahal di waktu itu pula Australia dan PNG telah meneken kesepakatan untuk mengirim para pencari suaka ke PNG. Melihat fakta di lapangan tersebut, UNHCR jadi meragukan kemampuan Pemerintah PNG dan pejabat kepulauan Nauru dalam menangani proses pencari suaka. 

Pasalnya dari 1.093 pencari suaka di Kepualuan Manus per 28 Oktober lalu, baru 160 orang yang telah mengajukan klaim suaka mereka untuk diproses. Selain itu, kedua Pemerintah di daerah itu tidak menyediakan dukungan hukum apa pun untuk membantu mereka. 

Di mata Direktur UNHCR, Volker Turk, laporan yang dikeluarkan institusi yang dipimpinnya melihat penurunan tajam selama satu tahun terakhir secara keseluruhan dalam perlindungan dan dukungan yang disediakan bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin ke Australia menggunakan perahu. 

"Memang betul, mereka menegaskan ketika kebijakan dan praktik didasarkan pada pencegahan, maka fasilitas itu dapat berbahaya bagi keluarga dan anak-anak," ujar Turk. 

UNCHR kemudian merekomendasikan bagi pencari suaka yang tengah hamil, agar segera dipindahkan ke Pulau Nauru hingga peralatan medis yang cukup tersedia. Pasalnya, sejak terjadi kerusuhan tanggal 19 Juli lalu telah terjadi penurunan yang signifikan dalam hal kondisi perawatan bagi mereka. 

Terlalu Berlebihan

Sementara Menteri Imigrasi, Scott Morrison, tidak terlalu menanggapi secara serius laporan yang dikeluarkan UNHCR tersebut. Menurut Morrison, laporan berisi kritikan itu terlalu berlebihan. 

Namun, dia mengakui memang ada permasalahan serius terkait isu pendanaan di kedua kamp tersebut. Tak ingin terus dipojokkan, Morrison lantas menyalahkan kesalahan itu kepada rezim Pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Partai Buruh. 

Morrison mengatakan Pemerintahan Buruh tidak kompeten dalam menerapkan kembali sebuah kebijakan minim dana dan kapasitas. 

Kebijakan pengiriman para pencari suaka ke PNG dilakukan ketika mantan Perdana Menteri Kevin Rudd masih menjabat. Semua imigran ilegal yang tertangkap kapal patroli Australia, akan dipindahkan ke PNG untuk diproses lebih lanjut, apakah benar pengungsi atau bukan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya