Giliran Timor Leste Tuduh Australia Menyadap

Patung Kristus Raja Dili di Kota Dili, Timor Leste
Sumber :
  • Antara/ Teresia May
VIVAnews
Jangan Ragukan Nasionalisme Pemain Naturalisasi Indonesia
– Pengungkapan aksi spionase oleh Badan Intelijen Australia (DSD) semakin meluas. Setelah Indonesia menyatakan kemarahannya terhadap aksi penyadapan yang dilakukan DSD, kini Timor Leste merasa turut menjadi korban mata-mata Australia.

Detik-detik Pelaku Dugaan Pelecehan Seksual Anak di Bawah Umur Diamuk Massa

ABC News
Terpopuler: Pengakuan Shin Tae-yong ke Ernando, Kata Pelatih Australia Usai Dihajar Timnas Indonesia
, 27 November 2013, melansir informasi ini dari pejabat berwenang Timor Leste, Agio Pereira, yang kalah dalam pemilihan umum perdana menteri kemarin. Pereira menuduh DSD telah menaruh alat penyadap di ruang rapat kabinet Timor Leste demi kepentingan komersial.

Peristiwa itu diklaim Pereira terjadi pada tahun 2004, ketika mantan Perdana Menteri Australia John Howard masih berkuasa. Kepentingan komersial yang dirujuk  Pereira terkait dengan kesepakatan pengaturan wilayah maritim di Laut Timor atau disebut
Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea
(Traktat CMATS).


Kesepakatan itu diteken tahun 2006. Di dalamnya termaktub poin bahwa kedua negara sepakat mengantongi masing-masing separuh keuntungan dari total pemasukkan proyek pembangunan gas senilai AUD40 miliar atau setara Rp433 triliun.


Namun karena kini Timor Leste mempermasalahkan soal penyadapan tersebut, maka kesepakatan tersebut terancam mandeg. Pereira menyebut penyadapan terjadi selama proses negosiasi Traktat CMATS yang memberikan keuntungan besar bagi Australia.


“Mengakses informasi nonpublik secara diam-diam merupakan sebuah kejahatan di Australia, dan ketika Anda menyadap hasil evaluasi terhadap tim negosiator dari kesepakatan yang sedang berjalan, tentu Anda meraih sebuah keuntungan,” ujar Pereira.


Pereira mengatakan apa yang dilakukan oleh Australia merupakan tindakan tidak adil dan dapat merugikan pihak lain. “Berdasarkan hukum internasional, konvensi Wina, dan aturan hukum, Anda seharusnya bernegosiasi dengan niat baik,” kata Pereira.


Pemerintah Timor Leste, ujar Pereira, sebenarnya sudah pernah meminta penjelasan tanpa banyak publikasi kepada pemerintahan mantan PM Julia Gillard pada Desember 2012. Namun Australia menolak memberikan penjelasan yang memuaskan.


Oleh sebab itu Timor Leste akan mengajukan kasus ini Dewan Arbitrase di Den Haag pada Desember mendatang. Pengacara kini tengah menyiapkan kasusnya untuk menghadapi sidang dengar pertama pekan depan.


Pereira mengatakan, pemilihan waktu untuk mengangkat kasus ini ke permukaan bukan karena ingin mempermalukan pemerintah Australia yang sudah terpojok dengan ketegangan hubungan bilateralnya dengan Indonesia.


“Ini bukan soal uang. Ini mengenai masalah kedaulatan. Ini mengenai kepastian dan masa depan bagi generasi mendatang. Ini sangat penting bagi Timor,” kata Pereira.


Pereira mengatakan, perbatasan wilayah laut menjadi motivasi kunci Timor Leste dalam membawa kasus itu ke pengadilan internasional. Namun dia menolak membeberkan lebih lanjut mengenai bukti yang dimiliki Timor Leste terkait tudingan Australia pernah melakukan aksi penyadapan.


Mantan anggota kabinet dari Partai Buruh Australia, Janelle Safin, yang kini menjabat sebagai penasihat hukum pemerintah Timor Leste, menolak untuk membicarakan kasus hukum itu. Menurutnya, aksi penyadapan merupakan kejahatan serius.


“Apabila aksi penyadapan memang terjadi dan pihak tertentu memperoleh keuntungan secara komersial dari kegiatan tersebut, maka hal itu merupakan sesuatu yang serius,” kata dia.


Mantan Menteri Luar Negeri Australia Andrew Downer yang menjabat saat itu, menolak berkomentar terhadap tuduhan Timor Leste. (aba)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya