Polisi Hong Kong Bubarkan Aksi Pro-Demokrasi, 511 Orang Ditahan

Polisi menangkapi para demonstran di Hong Kong
Sumber :
  • Reuters
VIVAnews -
Kembali Setelah 10 Tahun Tinggalkan Kostrad, Mas Bangun Melesat Naik Pangkat Jadi Mayjen TNI
Polisi Hong Kong pada Rabu kemarin, menahan sedikitnya 511 demonstran pada aksi pro-demokrasi yang berlangsung sejak Selasa lalu. Aksi yang diikuti puluhan ribu orang ini adalah yang terbesar di Hong Kong, sejak daerah bekas jajahan Inggris itu dikembalikan ke China tahun 1997.

Kecuali Indonesia, Wakil ASEAN Terseok-seok di Piala Asia U-23: Vietnam Babak Belur

Diberitakan
KPU Tetapkan Prabowo-Gibran Sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih 2024-2029
LA Times , aksi ini dimulai pada Selasa sore yang menurut penyelenggara diikuti lebih dari 500 ribu orang. Malamnya, massa yang kebanyakan mahasiswa ini melakukan aksi duduk di Chater Road sebagai bentuk protes kediktatoran China daratan dalam memilih pemimpin Hong Kong.


Aksi ini berlangsung damai, dengan peserta yang bergandengan tangan tanpa adanya gesekan dengan aparat. Namun, polisi membubarkan mereka dengan alasan telah melewati batas waktu yang ditetapkan. Massa yang menolak pergi akhirnya ditangkapi oleh polisi.


"Pertemuan publik di Chater Road pada 1 Juli seharusnya selesai pada waktu yang ditentukan. Setelah beberapa kali imbauan oleh polisi, termasuk peringatan, mereka yang menolak bubar dianggap telah melanggar peraturan," kata pernyataan yang dikeluarkan kepolisian Hong Kong.


Aksi penangkapan ini mendapatkan pemberontakan dari massa yang menendang dan berteriak-teriak. "Kami berhak menggelar protes. Kami tidak butuh izin dari polisi," teriak mereka.


Aksi itu digelar pada peringatan 17 tahun diserahkannya Hong Kong ke China. Dalam perjanjiannya dengan Inggris, Tiongkok berjanji akan memberikan kebebasan sipil dan otonomi bagi Hong Kong yang berpenduduk tujuh juta orang selama 50 tahun.


Namun, dalam perkembangannya, China bersikap otoriter dengan memilih kepala pemerintahan Hong Kong sesuai kemauan mereka. Juni lalu, sekitar 800 ribu orang menggelar referendum soal bagaimana seharusnya pemilihan kepala pemerintahan digelar.


Referendum ini dianggap pemerintahan Beijing tidak sah dan cacat hukum. China menegaskan bahwa mereka membebaskan siapa pun menjadi petinggi Hong Kong, namun syaratnya harus "Cinta China dan Cinta Hong Kong." Syarat ini dianggap memungkinkan Beijing meletakkan orang-orang yang pro pada pemerintahan Partai Komunis. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya