Aung San Suu Kyi Bantah Pembersihan Etnis Rohingya

Pemimpin pro demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Sumber :
  • REUTERS/Cathal McNaughton

VIVA.co.id – Pemenang Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, membantah terjadinya pembersihan etnis Rohingya di Myanmar, seperti berita yang tersebar luas selama ini.

Kekejaman Junta Militer Myanmar, Aung San Suu Kyi Tak Dikasih Makan dan Ditelantarkan Saat Sakit

Saat wawancara eksklusif dengan BBC, 5 April 2017, Suu Kyi mengaku mengetahui adanya masalah di negara bagian Rakhine, di mana etnis Rohingya banyak tinggal di sana. Namun menurut Suu Kyi, menggunakan frasa "pembersihan etnis," terasa terlalu berat.

Bahkan, ia mengatakan negaranya akan menyambut kembalinya warga Rohingya dengan tangan terbuka. "Saya tak merasa bahwa ada pembersihan etnis yang sedang berjalan di sana. Menurut saya, menggunakan frasa ‘pembersihan etnis’ terlalu berat jika digunakan untuk mengekspresikan apa yang sesungguhnya terjadi di sana," ujarnya.

Aung San Suu Kyi Sakit, Junta Myanmar Tolak Permintaan Dokter dari Luar

"Saya pikir di sana banyak sekali terjadi permusuhan, itu adalah Muslim membunuh Muslim juga, jika mereka berpikir mereka bekerja sama dengan pihak berwenang. Ini bukan soal pembersihan etnis seperti yang Anda katakan. Ini tentang beberapa orang dari sisi yang berbeda yang saling bermusuhan, dan permusuhan ini yang kami coba untuk tutupi," ujarnya menambahkan.

Etnis Rohingya tak memiliki kewarganegaraan di Myanmar, di mana banyak di antara mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Mereka kerap menghadapi pemeriksaan dari pemerintah dan juga menghadapi diskriminasi di masyarakat.

Aung San Suu Kyi Dapat Grasi dari Junta Myanmar

Sekitar 10.000 etnis Rohingya tinggal di kamp penampungan setelah terusir akibat kekerasan komunal yang terjadi pada 2012. Dalam beberapa bulan terakhir, sekitar 70.000 dari mereka telah melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer yang dilakukan pemerintah. Operasi militer itu dilakukan setelah sembilan polisi tewas terbunuh dalam sebuah serangan.

Bulan lalu, PBB meluncurkan perintah penyelidikan atas tuduhan keterlibatan militer Myanmar karena melakukan target operasi dengan mendiskriminasi etnis Rohingya saat melakukan operasi perburuan pada pelaku pembunuhan sembilan anggota mereka. Penyelidikan PBB fokus pada dugaan terjadinya perkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan. Namun pemerintah Myanmar membantah tuduhan itu.

Selama bertahun-tahun Suu Kyi memilih diam atas kasus di Rakhine. Dan itu merusak reputasinya sebagai seorang penerima Nobel Perdamaian dan pejuang HAM yang selama belasan tahun menghadapi junta militer hingga menjadi tahanan rumah. Akibat isu Rohingya, Suu Kyi bahkan mendapat tekanan internasional.

"Saya terus ditanya soal masalah ini sejak tahun 2013, saat terjadi insiden besar terakhir di Rakhine. Dan mereka terus bertanya pada saya dan saya menjawab pertanyaan mereka, dan kemudian publik akan mengatakan saya tak memberikan pernyataan apapun. Sederhana saja, karena saya tak memberikan pernyataan seperti yang mereka harapkan, seperti yang mereka ingin, sederhana karena berharap saya mengutuk satu komunitas atau komunitas lainnya," tutur Suu Kyi.

Suu Kyi mengatakan tidak tahu mengapa militer melakukan serangan pada bulan Oktober. Tapi ia berspekulasi mungkin militer mencium adanya upaya untuk menggagalkan negosiasi perdamaian antara negara Myanmar dan berbagai kelompok pemberontak etnis bersenjata negara itu.

Dia juga membantah tentara memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun  yang mereka suka. "Mereka tidak bebas untuk pemerkosaan, penjarahan dan penyiksaan," katanya. "Mereka bebas untuk masuk peperangan dan berjuang. Itu tertulis dalam konstitusi. Hal-hal militer harus diserahkan kepada tentara," katanya menegaskan.

Bagaimana pun, ia juga mengetahui, mengambil alih kontrol dari militer adalah hal yang terus pemerintah harapkan bisa dilakukan. Dengan konstitusi saat ini, militer bekerja secara independen dari partai yang berkuasa. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya