Komnas HAM Minta Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut

Etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine, Myanmar mengungsi.
Sumber :
  • REUTERS/Soe Zeya Tun

VIVA.co.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ikut berkomentar mengenai tragedi yang dialami etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.

Muslim Rohingya Bantu Etnis Buddha Myanmar

Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah, salah satunya memimpin komunitas di kawasan dan komunitas internasional untuk mencabut gelar Nobel Perdamaian, Aung Saan Suu Kyi.

Menurut Maneger, apa yang dialami etnis Rohingya di Myanmar merupakan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) secara sistematis, terstruktur, masif, dan meluas.

Komnas HAM Persilahkan Bintang Emon Melapor

"Pemerintah Indonesia sebaiknya menyampaikan kecaman secara lebih keras dan terang benderang atas terus berlangsungnya dugaan kuat tindakan diskriminasi dan kejahatan genosida terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar," kata Maneger dalam keterangan tertulisnya, Jumat 1 September 2017.

Ia pun meminta, Indonesia mempertimbangkan untuk mengambil inisiatif dan memimpin negara-negara di kawasan dan dunia internasional guna menyeret Pemerintah Myanmar ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat kemanusiaan.

Komnas HAM Sayangkan Ulah Buzzer Membullying Bintang Emon

Ia menuturkan, mekanisme internasional didesain untuk mengadili perkara-perkara spesifik dan dengan mekanisme khusus. "Ada dua mekanisme hukum internasional, International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC)," ujarnya.

ICJ mengadili sengketa antarnegara atau badan hukum internasional seperti entitas bisnis. Jadi subyek hukumnya adalah entitas tertentu, bisa negara bisa juga non negara. Seperti sengketa perbatasan atau sengketa bisnis internasional. Dengan kata lain, ICJ adalah peradilan perdata internasional.

Sedangkan ICC mengadili empat jenis kejahatan universal, genosida, kejahatan perang, agresi, dan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) yang memenuhi standar sistematis, terstruktur, masif, dan meluas.

"Mencermati terus berlansungnya praktik diskriminasi dan genoside terhadap etnis minoritas Rohingya secara sistematis, terstruktur, massif, dan meluas. Jadi, kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) terhadap etnis minoritas Rohingya itu termasuk kompetensi ICC," katanya.

Lebih lanjut, Maneger menambahkan, akan jadi inisiatif dan keberanian Indonesia memimpin komunitas di kawasan dan komunitas internasional untuk membawa Pemerintah Myanmar ke Genewa atau Den Haag sebagai penjahat kemanusiaan adalah upaya yang sangat mulia dalam perspektif kemanusiaan.

Dalam realitasnya, kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) terhadap etnis minoritas Rohingya tidak berubah kondisinya, meskipun partai politik peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, memenangkan Pemilu.

"Untuk itu, Indonesia patut mempertimbangkan untuk me-lead komunitas di kawasan dan komunitas internasional untuk mencabut gelar Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi," ujar Maneger.

Ia pun meminta PBB sejatinya menjatuhkan sanksi (embargo politik, ekonomi, kerja sama, hubungan diplomatik) terhadap Myanmar karena telah melakukan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar.

"Negara tetangga Myanmar di kawasan demi kemanusiaan sejatinya memberi kemudahan masuknya warga Rohingya atas jaminan suaka politik," katanya.

Tak hanya itu, ia pun meminta Indonesia pada saatnya demi kemanusiaan patut mempertimbangkan menyediakan daratan pulau khusus warga Rohingya agar mereka bisa menikmati hak hidup merdeka dan berkemanusiaan. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya