- REUTERS/Soe Zeya Tun
VIVA.co.id – Pemimpin negara Myanmar dengan jabatan State Counsellor, Aung San Suu Kyi, setidaknya sudah dua kali buka suara soal pembantaian etnis Rohingya di Arakan, Rakhine, Myanmar. Yang terakhir, Suu Kyi mengatakan mengecam kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Rakhine.
Namun Suu Kyi tampaknya tidak mau secara spesifik mengungkapkan empati terhadap kekejaman yang dialami etnis Rohingya. Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah Myanmar berupaya menjaga keharmonisan di Rakhine.
Suu Kyi dalam pidato publiknya juga mengatakan bahwa tidak benar adanya peristiwa kekerasan di tanggal tertentu sebagaimana disebutkan sejumlah pihak.
Namun wartawan yang berada di lokasi kemudian mencoba mencari fakta soal klaim Suu Kyi tersebut.
Dilansir laman BBC, jurnalis media tersebut menilai bahwa pernyataan Suu Kyi soal tak ada kekerasan aparat sejak tanggal 5 September 2017, tidak benar. Berada di lokasi, wartawan menyatakan bahwa setidaknya pada tanggal 7 September masih ada bunyi tembakan senjata api, kepulan asap hingga desa-desa yang dibakar.
Dia juga menyaksikan adanya kelompok warga Buddha yang berdiri di wilayah yang sama dengan aparat di sekitar barak polisi.
Selain itu, Suu Kyi juga menyebutkan bahwa warga di Rakhine mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan tanpa adanya diskriminasi. Lagi-lagi, pernyataan ini dimentahkan oleh wartawan yang pernah bertugas di wilayah itu. Warga Rohingya disebutkan sulit mengurus administrasi termasuk untuk pindah, menikah hingga harus melakukannya dengan suap.
Bahkan sejak tahun 2012, diketahui bahwa Rohingya semakin terdesak dengan adanya krisis sejenis pada tahun tersebut.
Sementara Tim Pencari Fakta atas Rakhine dan citra satelit diberitakan sebelumnya juga menangkap adanya rekaman pembakaran desa-desa Rohingya di Rakhine. (ase)