LBH Jakarta: Penodaan Agama Jadi Alat Kriminalisasi Pilkada

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa (tengah)
Sumber :
  • Twitter LBH Jakarta

VIVA.co.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam perkara tuduhan Penodaan Agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. 

Polisi Ungkap Motif TikToker Galih Loss Buat Konten Diduga Menistakan Agama

Menurut Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, dalam perkara ini Ahok telah menjadi korban dari penggunaan Pasal 156a KUHP di masa-masa Pilkada yang seharusnya demokratis. 

Menurutnya, hal itu merupakan sebuah ironi namun nyata, karena negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI, masih belum mentaati rekomendasi dari putusan MK dalam Uji Materi (judicial review) Undang-undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama (PNPS 65), yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a.

TikToker Galih Loss Resmi Ditahan, Terancam Hukuman Penjara 6 Tahun

Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama.

"Pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subjek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Alquran) untuk menipu publik dalam kegiatan politik," ujar Alghiffari, Minggu, 16 April 2017. 

Usai Ditangkap Polisi, TikToker Galih Loss Minta Maaf, Janji Tak Buat Konten Serupa

LBH Jakarta menilai, pernyataan Ahok itu tidak memenuhi iktikad buruk yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Pernyataan Ahok, kata dia, sebaliknya dilindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E Konstitusi, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Menurutnya, penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat. 

Diduga, ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok di mana pihak ketiga ini sendiri tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut. 

Sehingga memunculkan gerakan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. 

"Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti ini sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan Pasal Penodaan Agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut," ujarnya. 

Sementara itu Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta, Yunita mengatakan, LBH Jakarta sudah sejak lama mengkritisi keberadaan pasal penodaan agama. Namun pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya. 

Dalam perkara Ahok, dia berharap agar majelis hakim nantinya menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur 'mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia' dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

Dan selain itu LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti demokrasi dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP, karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia. (mus)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya