Cerita Haru Janda Korban Bom Bali, Sedih Kala Si Kecil Minta Ayah

Seorang turis meletakan bunga di altar monumen bom Bali
Sumber :
  • Nyoman Budhiana

VIVA – Sebut saja namanya Titis (40 tahun), warga Bali. Dia adalah istri dari seorang lelaki korban Bom Bali 1 tahun 2002. Sejak kepergian suaminya, Titis susah-payah membesarkan dua anaknya. Mulanya dendam kepada pelaku yang merenggut semua harapan indahnya bersama sang suami. Tetapi lambat laun maaf dia hamparkan dengan doa semoga para pelaku sadar.

Negara Ini Tuduh Iran sebagai Negara Teroris, Kok Bisa?

Titis menceritakan jalan hidupnya itu dalam forum pelatihan bertajuk Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Terorisme oleh Yayasan Aida di Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa-Rabu, 10-11 Juli 2018. "Saat itu anak saya yang pertama, perempuan, kelas dua SD, yang kecil, laki-laki, usianya baru dua bulan," ujarnya.

Tahun 2002, keluarga Titis tinggal indekos di Kuta. Suaminya bekerja sebagai bartender di Sari Club Legian, Kuta, Bali. Malam sekira pukul 21.00 WIB, 11 Oktober 2002, suami Titis lembur di tempatnya bekerja. "Sebenarnya mau ambil libur, tapi karena banyak seniornya dikeluarkan, suami saya batalkan libur dan masuk kerja," katanya.

Mantan Teroris Poso Dukung Penuntasan Masalah Terorisme di Sulawesi Tengah

Hingga kemudian pada tengah malam, 12 Oktober 2002, Titis menerima panggilan telepon dari saudaranya agar menghubungi suaminya di tempat kerja. "Katanya ada bom," ujarnya. Singkat cerita, suaminya satu di antara ratusan korban tewas dari ledakan bom yang kemudian dikenang sebagai Bom Bali 1 itu.

Peristiwa itu berdampak buruk berkepanjangan dalam kehidupan Titis. Bukan hanya pada dia, yang paling bikin haru ialah pada kedua anaknya. Anaknya yang pertama, jadi pendiam dan cemburuan.

8 Terduga Teroris Jaringan JI Ditangkap, Polisi Ungkap Ada yang Berperan Jadi Bendahara

"Sekarang sudah SMA, tapi masih pendiam. Kalau ada teman atau saudara datang, dia sembunyi dulu, baru berbaur. Tapi kalau WhatsApp-an dan SMS biasa," katanya.

Suasana pelatihan tentang terorisme perspektif korban di Surabaya, Jawa Timur.

Adapun anaknya yang kedua, kata Titis, selalu merasa belum lengkap karena tak pernah mengenal sosok ayah. "Waktu TK sudah sering bilang ke saya, sana cari bapak, biar pincang enggak apa-apa asal ada bapak. Tapi (anak) saya yang tua enggak bolehin saya cari suami lagi," ujarnya sembari tersenyum. 

Titis tak sendirian. Ada juga ZZ dan Al, korban bom bunuh diri oleh kelompok teroris di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, atau dikenal dengan Bom Kuningan. ZZ yang berkantor di sebuah gedung dekat Kedubes Australia saat itu kepalanya terciprat pecahan kaca akibat tekanan ledakan bom.

Adapun Al juga terkena pecahan kaca bus yang rusak terdampak bom. Saat bom berdaya ledak tinggi itu meledak, bus yang ditumpangi Al melintas di seberang kantor Kedubes Australia. "Sampai sekarang saya agak trauma. Dengar suara petasan saat tahun baru atau perayaan warga, saya masih takut, bukan senang," kata ZZ.

Titis, ZZ dan Al sama-sama bangkit dari trauma dan coba menjalani hidup kembali. Mereka juga belajar memaafkan para pelaku teror untuk meringankan langkah masa depan. Dalam proses rekonsiliasi, mereka memberanikan diri bertemu para mantan aktivis teror dan kelompok radikal-ekstrem dan berbaikan.

Rekonsiliasi antara mantan pelaku teror dengan korban kiranya penting untuk misi perdamaian dan kemanusiaan. Tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi mantan pelaku. Eks instruktur bom Jemaah Islamiyah perwakilan Jatim, Ali Fauzi Manzi, contohnya. "Begitu saya bertemu beberapa korban, saya menangis, betapa besar dampak buruk atas apa yang telah kami lakukan dahulu," kata Fauzi.

Sejak itu Fauzi mantap berubah. Dia menyadari bahwa pemahaman keagamaannya saat bergabung dengan kelompok ekstrem itu keliru. Bersama beberapa mantan narapidana terorisme, adik dari bomber Bali itu lantas mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian di daerah asalnya, Kabupaten Lamongan. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya