Agustinus Edy Kristianto

Negara Omong Kosong

VIVAnews - Cerita ini pernah terjadi di India pada bulan Mei 2008. Sanichar Toppo, 35 tahun, dan putrinya yang berusia empat tahun, tewas tergilas roda bus. Kondektur bus telah mendorong dua orang itu keluar bus. Gara-garanya, Toppo hanya mampu membayar ongkos bus sebesar 8 rupee (Rp 200), padahal ongkos bus seharusnya 10 rupee. Toppo yang miskin dan putrinya harus membayar kekurangan 2 rupee dengan nyawanya. Semuanya ini terjadi di Negara Bagian Orissa, satu wilayah di India yang mayoritas dari 37 juta jiwa penduduknya miskin.

Jantung kita pasti bergetar, hati kita teriris. Faktanya, menjadi miskin sama artinya dengan mempertaruhkan nyawa. Di Indonesia pun, banyak sekali orang miskin yang hidup dalam jembatan hidup-mati setiap harinya. Karena miskin, hak hidup mereka terancam, kematian seolah menjadi jawaban yang wajar: gambaran kehidupan yang teramat kejam.

Tapi, ini semua bukan hanya persoalan nurani dan hati, melainkan tagihan dan tamparan keras buat suatu makhluk bernama negara untuk melindungi hak dasar warganya, melindungi sesuatu yang sangat mulia: nyawa.

Si Miskin

Mari kita tengok Indonesia, yang tengah merayakan 100 tahun kebangkitan nasional, sepuluh tahun reformasi yang konon bergairah itu.

Di Jawa Tengah, beberapa waktu lalu,  ada berita, seorang tukang becak meracuni dua anaknya. Satu anaknya tewas, yang satu lagi selamat. Alasan sang ayah yang miskin itu tak kuat hati melihat dua anaknya jatuh miskin seperti dirinya. Karenanya, ia memilih mengakhiri hidup anak-anaknya. Dengan racun.

Di Bogor, seorang ibu mati gantung diri. Ia takut periuk keluarga bakal tak terisi kalau pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Periuk tak terisi baginya sama saja dengan mati. Kejadian serupa juga terjadi di Surabaya. Karyawan PT Mepoli Industri di Jl Margomulyo 44, Thofilus Itta, 42 tahun, meninggal dunia. Diberitakan ia kelelahan karena mengantri lima liter minyak tanah selama seharian, pada awal Maret lalu.

Bangsa ini pun seolah mengalami ‘kemajuan’ berarti. Di sejumlah tempat, ada fakta ‘keberhasilan’ untuk menominalkan harga sebuah nyawa manusia. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan tengah menangani perkara dugaan pembunuhan terhadap Suherman yang diduga dilakukan oleh oknum polisi pada 11 April 2007. Suherman dituding sebagai perampok. Polisi pun menawarkan uang Rp 500 ribu kepada Julian, istri Suherman, sebagai uang bela sungkawa sekaligus ‘uang tebusan’ karena polisi telah menghabisi nyawa Suherman.

Kemiskinan bukan persoalan angka atau data saja, melainkan fakta. Sekitar 100 meter dari kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tepatnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, berjubel pasien miskin yang tak mampu membayar uang pengobatan. Contohnya, Juanda Adam Putra, anak usia sembilan tahun dari keluarga miskin, yang menderita colostomi alias tidak bisa buang air besar dan kecil secara normal. Setiap minggu mereka ketakutan, karena tak ada uang minimal Rp 150 ribu untuk biaya obat.

Di lantai I Gedung YLBHI puluhan bahkan ratusan orang miskin berhimpun setiap hari: buruh yang terancam pemutusan hubungan kerja, petani yang tergusur, pedagang yang disingkirkan, perempuan yang dilecehkan, dan sebagainya. Puluhan petani dari Blitar sudah lebih dari seminggu mondok di YLBHI, menanti keadilan karena tanahnya di desa kelahiran digusur paksa.

Si Kaya
Namun, Indonesia tak sesederhana lagu kanak-kanak Di Sini Senang, Di Sana Senang, Di Mana-Mana Hatiku Senang. Nyatanya, yang senang dan bergelimang harta hanya segelintir kepala, jauh lebih sedikit dari yang menderita.

Mengutip salah satu tulisan Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir, ternyata di negara ini, hanya ada 14 ribu orang yang memiliki deposito di sejumlah bank yang nilainya minimal Rp 5 miliar. Dan mereka menguasai mayoritas pangsa pasar deposito di seluruh bank di Indonesia.

Sebuah majalah berita berkesimpulan: reformasi tidak mengubah peta ekonomi Indonesia, konglomerat lama tetap jadi pemenang. Ya, di tengah sakitnya derita rakyat akibat kenaikan harga barang yang mendahului kenaikan harga BBM, masih ada orang Indonesia, pengusaha kaya, yang mampu mengundang pemusik dunia ke rumahnya, dan mendengarkan lantunan musik, sambil menikmati hidangan. Betul-betul stabil dan sejahteralah sang pengusaha. Ada pula adik pimpinan nasional kita yang sedang main bisnis mobile website dan beraset Rp 100 miliar lebih, dan hanya disebut “Cuma satu dari gurita bisnis keluarga.”

Dominasi kelas konglomerat lama diprediksi bakal lestari dalam beberapa tahun mendatang. Bayangkan. Ada 23 anak-cucu konglomerat lama yang bakal mengendalikan bisnis dan ekonomi Indonesia (Majalah Swa, 6-18 Maret 2008). Mereka mewarisi imperium keturunan dan bakal menguasai peta uang di Indonesia.

Omong Kosong
Ketidakadilan, timpang-harta antara si kaya dan si miskin, penulis meyakini, bukanlah suratan Tuhan, melainkan diciptakan oleh sistem dan watak negara. Kemiskinan itu dipersiapkan, diciptakan oleh segelintir orang berkuasa.

Sang bandit ekonomi yang bekerja untuk MAIN, firma konsultan internasional yang menjarah dunia ketiga, John Perkins mengakui, Indonesia adalah korban pertamanya ketika ia menjejakkan kaki di nusantara, dekade 1970-an. Ia ciptakan antek korporatokrasi, kelas elite baru, yang makmur di satu sisi, dan di sisi lain, ia tanggalkan jutaan orang hidup dalam kemiskinan (Perkins, 2007: 32).

Perolehan Suaranya 58,6 Persen, Prabowo Subianto: Itu Hasil Demokrasi dan Perjuangan

Makanya, bukan kebetulan kalau Indonesia setuju dengan kebijakan-kebijakan asing yang membebani rakyat. Tumpukan utang negara yang nyatanya hanya untuk menebalkan kocek elite negeri ini, membuat negara tak punya pilihan lain: mengibaskan rakyat miskin.

Sebab itulah, penulis meyakini, negara bukan hanya abai terhadap pemenuhan hak asasi warga negaranya, melainkan negara telah ikut merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan mesin pemiskinan rakyatnya. Siapa pun pucuk pimpinan negeri ini, tak akan bisa berbuat banyak, selama kita gagal memutus rantai watak dan sistem pemiskinan tersebut.
     
Tahun 2005, SBY menaikkan harga BBM sampai 82%. Tahun 2007 berjanji tak akan menaikkan harga sampai 2009. Tapi Juni 2008, harga BBM bakal naik. Tahun 2004 berjanji menyejahterakan rakyat, saat ini janji itu dikhianati sendiri.

Adakah beda antara kebohongan dan bualan? Kamus Bahasa Indonesia mencatat, berbohong berarti menyatakan sesuatu yang tidak benar. Bual artinya omong kosong; cakap besar (kesombongan).

Negara ini menuju yang kedua: membual, karena kebohongan dilakukan berkali-kali. Sama artinya dengan negara omong kosong, negara yang banyak cakap menyejahterakan rakyat, tapi mempersiapkan, melaksanakan, dan mengawal pemiskinan  rakyat.

Penulis adalah Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)

SPBU Shell

Shell Indonesia Bakal Tutup Seluruh SPBU di Medan, Manajemen Ungkap Alasannya

PT Shell Indonesia dikabarkan bakal menghentikan operasional seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Medan, Sumatera Utara.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024