YLBHI: Penegak Hukum Tak Paham Hak-hak Anak

Terdakwa kasus pencurian sandal bekas, AAL (15) di sidang vonis
Sumber :
  • Antara/ Mohamad Hamzah

VIVAnews - Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Erna Ratna Ningsih mengatakan, aparat penegak hukum masih belum mengerti terkait keberadaan undang-undang perlindungan anak yang sudah diratifikasi.

Sehingga, banyak kasus hukum yang melibatkan anak, diposisikan sama dengan kasus hukum orang dewasa.

Usulan Kejaksaan Izinkan Lima Smelter Perusahaan Timah Tetap Beroperasi Disorot

"Aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim memang tidak memahami mengenai hak anak-anak. Seharusnya ada pengetahuan, harus punya spesifikasi pemahaman yang cukup untuk menangani kasus yang melibatkan anak," ujar Erna kepada VIVAnews.com, Kamis 5 Januari 2011. 

Menurut Erna, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH seharusnya melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini menurutnya sejalan dengan prinsip yang termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

"Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk melindungi ABH, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child”. Dimana pemidanaan anak sebaiknya diposisikan sebagai opsi terakhir atau “The Last Resort”," jelasnya.

Jika harus masuk ke pengadilan, kata Erna, seharusnya tidak disamakan dengan pengadilan orang dewasa. "Misalnya hakim tidak boleh menggunakan toga, si anak harus didampingi orang tuanya, dan pengadilannya tidak sama dengan orang dewasa," jelasnya.

Saat ini Erna melihat banyak permasalahan dalam memproses kejahatan yang dilakukan oleh anak.

"Pertama, pihak-pihak aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan yang belum memiliki perspektif perlindungan terhadap anak yang seharusnya mengupayakan pendekatan keadilan restoratif dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum," katanya.

Kedua, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) merupakan pranata yang sangat penting di dalam peradilan pidana anak. Namun keberadaannya, kata Erna, masih kurang mendapat perhatian.

"Seolah-olah peranan yang banyak tampil dalam penanganan anak yang melakukan kejahatan itu hanyalah penyidik, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan," ucapnya.

Padahal, katanya, peran Bapas sangat penting di dalam melakukan pendampingan anak yang bermasalahan dengan hukum. Karena tugas dari Bapas adalah melakukan penelitian terkait dengan lingkungan si anak yang nantinya akan dijadikan dasar oleh hakim dalam mengambil keputusan.

"Saat ini aturan hukum yang mengatur adalah UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang lebih mengupayakan mengadili daripada melindungi. Sehingga hal ini menjadi legitimasi aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi anak apabila telah memenuhi unsur-unsur pidana," tuturnya. (adi)

Jemaah haji Indonesia mendengarkan khutbah Subuh jelang wukuf.

Cegah Informasi Simpang Siur, Jemaah Haji Diimbau Tak Bagikan Kabar Tidak Benar di Media Sosial

Menurut Direktur Bina Haji PHU Arsad Hidayat, jemaah haji diminta tidak asal membagikan informasi yang beredar di media sosial yang belum jelas kebenarannya.

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024