Solidaritas Jurnalis: Polisi Tak Perlu Galak Hadapi Pengunjuk Rasa

Aksi Solidaritas Wartawan
Sumber :
VIVAnews
Sopir Truk Penyebab Kecelakaan di GT Halim Terancam 4 Tahun Bui
- Puluhan wartawan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, menggelar aksi solodaritas atas kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, kemarin.

5 Motor Vespa Bersolek di Indonesia Fashion Week 2024

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Garut, Aep Hendi, menilai tindakan kekerasan oknum Polisi di Makassar adalah pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebab tindakan itu merupakan upaya menghalang-halangi tugas jurnalistik wartawan.
Joe Biden Gelontorkan Dana Fantastis Perbaiki Jembatan Baltimore


“Tak perlu galak-galak, apalagi sampai melakukan kekerasan dan merampas peralatan liputan saat menjalankan tugas,” kata Aep, Jumat, 14 November 2014.

Seharusnya, kata dia Polisi dan wartawan saling menghormati dan menghargai tugas masing-masing. Polisi wajib menghormati tugas jurnalis menyampaikan informasi kepada masyarakat. Begitu pula para jurnalis wajib menghormati tugas Polisi menjaga keamanan dan ketertiban, meski tak perlu menggunakan kekerasan.

Ia menjelaskan, aksi solidaritas itu adalah bentuk keprihatinan para pekerja jurnalistik kepada sejumlah wartawan Makassar yang telah menjadi korban. "Aksi ini untuk mengingatkan aparat untuk lebih menghargai para wartawan saat melaksanakan tugasnya.”


Ragam solidaritas di berbagai daerah


Aksi solidaritas serupa digelar para jurnalis di berbagai daerah. Di Pandeglang, Banten, sejumlah wartawan beraksi menutup mulut mereka dengan lakban. Mereka kecewa dengan tindakan aparat Kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat tetapi malah melakukan kekerasan.


Lain di Sukabumi, Jawa Barat. Para pekerja pers menggelar aksi solidaritas dengan berdoa bersama di persimpangan Kota Surya Kencana. Mereka menyesalkan sikap aparat Kepolisian yang memperlakukan para jurnalis di Makassar secara tak manusiawi.


Mereka juga mengajak sejumlah Polisi yang mengamankan aksi itu untuk ikut berdoa bersama. Aksi berlangsung tertib sampai massa membubarkan diri.


Di Ambon, Maluku, tiga organisasi wartawan membuat pernyataan bersama yang mengutuk kekerasan Polisi terhadap rekan seprofesi mereka di Makassar. Di antaranya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, PWI, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).


Mereka menuntut kepada pimpinan Polda Sulselbar dan Polri di Jakarta untuk mengusut kasus itu sampai tuntas. Siapa pun pelaku pemukulan terhadap empat wartawan harus diadili.


"Ini perbuatan keji. Kami di Maluku mendorong agar pengusutan kasus pemukulan terhadap empat wartawan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan dengan cara-cara yang profesional," dikutip dari siaran pers yang diterbitkan ketiga organisasi itu.


"Kami juga sangat menyayangkan kalau ada pimpinan Polisi yang terkena anak panah saat pengamanan demonstrasi, namun pemukulan terhadap jurnalis tidak dibenarkan oleh siapa pun. Itu sama saja mencederai prinsip demokrasi, dan kebebasan pers di negara ini.”


Para wartawan yang tergabung dalam organisasi AJI, PWI dan IJTI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, juga punya cara sendiri untuk menunjukkan solidaritas terhadap rekan mereka yang mengalami kekerasan oleh oknum Polisi. Mereka mengumpulkan dan menggeledah tas masing-masing.


Aksi itu dilakukan sebagai bentuk pembuktian bahwa jurnalis bukan ancaman bagi Polisi. "Kami bukan ancaman bagi kalian, para aparat penegak hukum. Bekal kami cuma kamera untuk memberikan fakta yang sesungguhnya yang terjadi kepada publik," ujar Latif Apriaman, Koordinator Wilayah Bali dan Nusa Tenggara AJI Indonesia.


Nota kesepakatan


AJI, PWI dan IJTI di Malang mengingatkan Polisi bahwa pelaku kekerasan terhadap wartawan saat melakukan tugas jurnalistik diancam pidana penjara dua tahun dan denda sebesar Rp500 juta, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.


Mereka mengajukan nota kesepakatan kepada aparat Polres Malang untuk menolak kekerasan pada jurnalis dan mendukung proses hukum terhadap oknum pelaku pemukulan. Dalam nota itu tertuang tuntutan agar aparat Polisi di Malang menunaikan kewajiban untuk mengayomi masyarakat dan tidak melakukan kekerasan pada jurnalis.


Para jurnalis juga berjanji untuk bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan mematuhi Undang-Undang Pers. “Kami berharap aparat profesional dalam bertugas, begitu pun dengan jurnalis yang bekerja secara profesional," kata Yatimul Ainun, koordinator aksi.


Wakil Kepala Polres Malang, Komisaris Polisi Victor Dean Mackbon, menjanjikan waktu yang tak terbatas bagi jurnalis untuk melakukan komunikasi, menyampaikan kritik, koreksi, dan saran pada Polisi. Dia juga meminta peran aktif masyarakat untuk selalu ikut mengawasi kinerja aparat sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.


30 kasus tiap tahun


AJI dan PWI serta kalangan pers mahasiswa di Yogyakarta juga mengingatkan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi kendati telah melewati 15 tahun sejak Undang-Undang Pers diberlakukan. AJI mencatat, tidak kurang 30 kasus kekerasan terjadi di Indonesia tiap tahun. Aparat penegak hukum seperti Polisi masih menjadi ancaman bagi jurnalis karena kerap terlibat sebagai pelaku kekerasan.


Tapi, menurut AJI, siapa pun pelaku kekerasan itu harus tetap dihukum. Aparat penegak hukum harus belajar dari kasus penganiayaan terhadap jurnalis oleh oknum TNI Angkatan Udara di Riau beberapa tahun silam. Pelaku tetap disanksi pidana kendati merupakan aparat negara.


"Kami mendesak kepolisian menuntaskan kasus ini. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus dihukum setimpal," kata Ketua AJI Yogyakarta, Hendrawan Setiawan.


Anggit Gunadi/Pandeglang, Rizki Gustana/Sukabumi
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya