Orang Jawa di Suriname Masih Goreng Kacang dengan Pasir

Orang Jawa di Suriname Masih Goreng Kacang dengan Pasir
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.A. Pitaloka
VIVA.co.id - Tepat 9 Agustus 2015, 125 tahun lalu penduduk Jawa tiba di Suriname. Lebih dari seabad, generasi keturunan mereka yang menetap di Suriname masih mempertahankan adat dan budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Kamus Bahasa Jawa Standar Internasional Sudah Didigitalisasi

Di antara masyarakat masih lazim berbicara dalam bahasa jawa ngoko, memasak berbagai makanan tradisional, hingga menggoreng kacang tanah dengan cara tradisional: menggunakan pasir.
Ahli: Bahasa Jawa dan Bali Tak Bakal Punah

“Kami masih berbicara dalam bahasa jawa ngoko, bukan kromo,” kata Kaboel Karso, Kepala Yayasan Jawa Suriname, Setiga Jawa ing Flevoland (SJIF), saat ditemui di Malang, Jawa Timur, Senin, 24 Agustus 2015.
5 Kelebihan Bahasa Jawa Dibanding Bahasa Lain di Dunia

Kaboel adalah generasi ketiga dari kakeknya yang masuk Suriname pada 1915. Kakeknya berasal dari Kedu, Jawa Tengah, dan neneknya dari Ngantang, Jawa Timur. Pria paruh baya yang kini tinggal di Flevoland, sekira 30 kilometer utara Amsterdam, menyebut berbagai adat dan tradisi Jawa masih dilakukan penduduk keturunan yang kini tinggal di Suriname dan Belanda. Banyak bahasa sehari-hari dalam bahasa jawa yang dijadikan bahasa umum warga Suriname.

“Etnis Afrika banyak yang ikut menggunakan bahasa jawa ngoko. Jadi Jawa di sana tidak mengenal kulit dan ras. Penduduk bukan Jawa lainnya juga gemar makan soto, di sana disebut saoto karena lidah bule yang berbeda,” katanya.

Tak hanya itu, penduduk keturunan Jawa juga masih banyak melestarikan makanan tradisional. Seperti kacang tanah yang digoreng. Mereka masih memasak kacang tanah menggunakan pasir. “Kacang tanah digoreng pakai pasir juga masih ada, bakmi juga ada, banyak makanan yang jadi bagian dari lingkungan di Suriname,” ujarnya.

Menurutnya, falsafah Jawa juga masih melekat di antara penduduk keturunan. Nilai ulet dalam bekerja dan peka terhadap situasi, diakui Kaboel menjadi salah satu nilai lebih keturunan Jawa untuk bisa bertahan di Barat.

Selain itu, nilai hormat pada leluhur juga tetap terikat kuat secara turun temurun. “Hormat kepada orang tua itu sudah baku dan berlangsung sampai sekarang. Kelebihan kerja yang ulet dan peka itu juga membuat kami bertahan, karena tak mudah bisa bersaing dan bekerja di Barat,” katanya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya