Undang-undang Baru untuk Teroris, Perlukah?

Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo menyetujui perevisian Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang pemberantasan Tindak Pidana . Usulan ini pun telah didorong masuk dengan segera dalam program legislasi nasional tahun 2016 sejak diputuskan Dewan Perwakilan rakyat, Rabu malam 20 Januari 2016.

Negara Ini Tuduh Iran sebagai Negara Teroris, Kok Bisa?

Revisi UU di Indonesia, terlihat seperti tergesa-gesa. Sejak muncul aksi bom bunuh diri di kawasan Sarinah di Jalan MH thamrin pada Kamis 14 Januari 2016.

Desakan perevisian UU teroris pun bermunculan dan langsung direspons cepat oleh pemerintah. Sejumlah poin bahkan sudah disiapkan guna menyiapkan UU baru.

Mantan Teroris Poso Dukung Penuntasan Masalah Terorisme di Sulawesi Tengah

Poin itu seperti pencabutan kewarganegaraan bagi orang yang pernah mengikuti latihan . Kemudian penambahan masa penanganan untuk pemeriksaan dan pemberian persetujuan alat bukti cukup lewat hakim pengadilan.

Termasuk juga penguatan dalam hal proses deradikalisasi dan penanaman pendidikan bagi pencegahan praktik di Indonesia akan ikut dirumuskan.

8 Terduga Teroris Jaringan JI Ditangkap, Polisi Ungkap Ada yang Berperan Jadi Bendahara

"Apa yang sudah berlaku, berlangsung saat ini relatif jalan baik, hanya memang perkembangan radikalisme dunia menuntut adanya perubahan tersebut," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Negara, Kamis 21 Januari 2016.

"Diharapkan pada masa sidang ini, paling tidak masa sidang berikutnya bisa diselesaikan."

Tak Menjamin

Aksi di Indonesia sejatinya bukan hanya di rangkaian kasus yang dilakukan Afif dan kawan-kawan.

Indonesia memiliki cukup cerita panjang tentang dan beragam bentuk gerakannya. Hingga kini pun riak-riak itu masih bermunculan, entah itu mungkin dari Aceh hingga pun Papua.

Sebab itu, muncul anggapan. Sesungguhnya masalah di Indonesia bukan karena payung hukumnya. Namun karena lemahnya orang yang menjalankan payung hukum tersebut.

Harist Abu Ulya, pengamat kontraterorisme Indonesia, mengakui masalah di Indonesia terletak pada lemahnya kemampuan dan profesionalitas penegak hukum dalam pencegahan dan penindakan.

Sebab itu, ia meragukan kehendak revisi tersebut akan bisa membawa Indonesia jauh dari . "Kerasnya UU atau regulasi tidak serta merta signifikan dengan hilangnya tindak pidana ," kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) tersebut.

Penjara Pusat Belajar Teror

Dalam kasus bom bunuh diri di Jalan MH Thamrin yang dilakukan Afif alias Sunakim pada Kamis 14 Januari 2016. Dari pengakuan pengamat terorisme Al Chaidar, jauh sebelum ledakan pelaku diduga selalu berkoordinasi dengan terpidana lainnya.

Salah satunya adalah para terpidana di Lapas Nusakambangan. "Sudah tiga kali sebelum kejadian," kata Chaidar.

Fakta itu, menurut Chaidar, menunjukkan lemahnya pengawasan dari sisi penegak hukum. Termasuk proses deradikalisasi yang sesungguhnya harus dibenamkan dalam setiap pelaku yang dipenjara.

Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menimpali hal serupa. Fakta bahwa pelaku bom Thamrin merupakan residivis cukup menjadi petunjuk kuat bagi negara bahwa deradikalisasi yang dilakukan tidak berjalan.

Dengan begitu, perevisian UU sepertinya memang belum mendesak. Apalagi di tengah belum maksimalnya kapasitas penegakan hukum di Indonesia. "Teror yang dilakukan radikalis sepertinya tetap tak berkurang, bahkan bibit-bibitnya semakin tumbuh," kata Hasanuddin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya