ICJR Desak Pemerintah Bikin Hukum Acara Praperadilan

Suasana praperadilan tersangka La Nyalla Mattalitti.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Nur Faishal.

VIVA.co.id – Institute for Criminal Justice Reform, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang perhatian terhadap pembenahan sistem peradilan di Indonesia, mendesak pemerintah segera membuat landasan hukum acara praperadilan.

La Nyalla Juga Dicurigai Cuci Uang, Pengacaranya Protes

Hal ini diajukan menyusul putusan Hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya, Ferdinandus B, mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan La Nyalla Mattalitti, terkait penetapan tersangka dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Selasa 12 April 2016. 

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan kasus ini pernah disidangkan sebelumnya sehingga seluruh bukti telah diuji di Pengadilan, bukti kwitansi yang diajukan oleh Jaksa merupakan permasalahan administratif, dan tidak ada kerugian negara. Status tersangka La Nyalla pun dicabut Hakim, meskipun dirinya merupakan buronan dan masuk daftar pencarian orang (DPO).

KPK Siap Bantu Kejaksaan Usut Kasus La Nyalla

Padahal, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1988 dan SEMA Nomor 1 Tahun 2012, Mahkamah Agung memiliki sikap keras terhadap buronan atau DPO, sehingga mereka tidak diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum.

"Secara prinsip itu aneh buronan bisa mengajukan praperadilan, itu tidak diatur. Potensi ini akan berbahaya juga, bayangkan saja jika semua buronan mengajukan praperadilan. Mestinya buronan tidak bisa, karena dia sudah melepaskan hak hukumnya," ujar Direktur ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Wakil Ketua DPR Heran dengan Sistem Hukum Indonesia

Menurut ICJR, putusan permohonan praperadilan La Nyalla adalah gambaran, bahwa hukum acara praperadilan karut marut, terlebih setelah putusan Mahkamah Konstitusi, No. 21/PUU-XII/2014, yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

"KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) hanya mengatur administrasi. Adakah suratnya? Nah, karena objek praperadilan sekarang sudah jauh, sampai memeriksa dua alat bukti, bukti itu cukup atau tidak? Itu membutuhkan hukum acara yang berbeda," ujarnya.

Hasil penelitian ICJR terkait praktik praperadilan untuk penahanan di Indonesia, ditemukan bahwa selama ini hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda. Dalam beberapa kasus, hakim bahkan masuk ke dalam pokok perkara. Namun mayoritas, hakim hanya menguji konteks formal dari praperadilan.

"Kalau hakim punya interest dia akan dalami maslahnya, kalau tidak ya dibiarkan," tutur Supriyadi.

Minim Pengaturan, Praperadilan Hasillkan Putusan Janggal dan Tidak Menjamin Kepastian Hukum

Dia menjelaskan, alasan paling mendasar hakim menerapkan hukum acara berbeda-beda, adalah karena tidak adanya tata cara praperadilan yang memadai. Supriyadi menilai, hukum acara praperadilan di KUHAP terlalu singkat dan tidak memadai sebagai mekanisme kontrol. Sementara pasca putusan Mahkamah Konstitusi, ada penambahan kewenangan dalam praperadilan.

"Yang paling penting adalah perubahan KUHAP untuk reformasi peradilan, tapi itu sampai sekarang belum jadi. Maka untuk efektifnya, biar cepat adalah peraturan dibawah KUHAP, yaitu bisa Peraturan Pemerintah atau SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)," terangnya.

ICJR sebelumnya pernah menyerahkan usulan naskah akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara Praperadilan kepada Mahkamah Agung pada 2015. Namun, Mahkamah Agung menolak dengan alasan praperadilan sudah lengkap diatur di KUHAP. 

Dalam Perturan Pemerintah itu, ICJR mengusulkan untuk memasukan tentang objek praperadilan, syarat pihak yang bisa mengajukan praperadilan dan hukum acara persidangan praperadilan. "Objek dan bagaimana panduan untuk memeriksa praperadilan tersebut."

Supriyadi menilai tiga poin ini penting diatur dalam hukum acara praperadilan, agar para pihak di persidangan yaitu hakim, pemohon dan termohon, bisa memiliki acuan yang jelas dalam beracara.

Selain itu, hakim dalam menguji permohonan pun bisa memiliki acuan lebih jelas, sehingga hukum bisa diterapkan lebih pasti, dan tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi pencari keadilan. Jika dibiarkan, kejanggalan dalam putusan praperadilan akan terus terjadi.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya