Isu Bangkitnya PKI Dimunculkan untuk Adu Domba Masyarakat

Ilustrasi pembakaran lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Agus Bebeng

VIVA.co.id – Propaganda tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dipandang sengaja dimunculkan untuk menghambat upaya-upaya pengungkapan kebenaran atas Tragedi 1965 yang kini tengah berlangsung - baik melalui film, diskusi, penerbitan buku. Pemunculan isu kebangkitan PKI itu diduga merupakan desain pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Demikian menurut lembaga pemerhati masalah-masalah sosial dan politik, Setara Institute

SBY: Keturunan PKI Tak Boleh Ikut Divonis Salah

Ketua Setara Institute, Hendardi, mengatakan hal itu dilakukan untuk mengadu domba masyarakat, menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap kebebasan sipil.

"Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965," ujar Hendardi melalui pesan singkatnya, Senin 9 Mei 2016.

SBY Cemas dengan Isu Gerakan Komunisme

Menurutnya, agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam 3 bulan terakhir terus terjadi.

"Kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis," kata dia.

Ryamizard: PKI Selalu Muncul Tiap 17 Agustus

Di sisi lain, lanjut dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut hanya menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.

Atau bisa jadi, justru pihak TNI dituding sebagai bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran.

"Situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi statement-statement Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial," ujarnya.

Lebih lanjut, Hendardi menegaskan bahwa korban dari propaganda itu bukan hanya korban 1965 tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.

Untuk itu, Presiden Jokowi diminta segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda yang tidak berdasar.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya