Kapolri Ungkap Syarat Kemampuan untuk Berantas Terorisme

Kapolri Jenderal Tito Karnavian bersama Panglima TNI.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Basri Marzuki

VIVA.co.id – Keberhasilan Tim Alfa 29 TNI menembak mati pimpinan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah dan rekannya Muchtar alias Kahar di Tamabarana, Poso, Sulawesi Tengah memunculkan wacana baru untuk merevisi Undang Undang Terorisme. Salah satu poinnya yaitu memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani masalah terorisme.

Jenderal Berdarah Kopassus TNI Masuki Hutan Sarang Penggorok 2 Polisi

Kapolri Jenderal Polisi, Tito Karnavian mengatakan, perlu adanya pemahaman dalam melakukan penindakan terhadap orang yang diduga teroris di Tanah Air. "Dalam konteks penegakan hukum itu, semua tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal atau terluka itu harus dipertanggungjawabkan sampai kapan pun," kata Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 22 Juli 2016.

Tentunya, dalam menegakkan hukum, masalah terorisme mengandung banyak risiko. Salah satunya masalah hak asasi manusia (HAM). "Kita harus berhati-hati dengan rambu-rambu undang-undang tentang HAM. Karena Undang Undang tentang HAM ini tidak memiliki kedaluwarsa, bisa sampai kapan pun. Kemudian bisa berlaku retroaktif (surut)," katanya.

2 Anggota MIT Poso Tewas Usai Baku Tembak, Salah Satunya Anak Santoso

"Aparat negara yang melakukan tindakan mengakibatkan seseorang meninggal dunia atau terluka, itu sebaiknya dilakukan dengan langkah-langkah yang secara tata hukum berlaku di tingkat nasional, dapat dibenarkan sesuai aturan," katanya.

Dengan demikian, kata Tito, dalam konteks perburuan kelompok teroris MIT Santoso di wilayah Poso, Sulawesi Tengah dengan melibatkan TNI itu tidak menjadi persoalan. Asalkan, sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Mahfud Md Klaim Pemerintah Jamin Keamanan Warga Sigi

"Kalau dalam konteks penegakan hukum seperti kasus di Poso (TNI dan Polri), fine. Karena semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian," ujarnya.

Namun, apabila dalam penindakan terhadap kelompok terduga teroris terjadi kesalahan, apalagi dilakukan oleh TNI, dikhawatirkan akan menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan wewenang). "Kalau doktrin dari teman-teman TNI umumnya yang saya pahami, kill or to be kill," ujarnya.

Dengan demikian, Tito menegaskan, apabila TNI terlibat dalam penindakan terduga teroris harus perlu adanya kemampuan yang mendukung. Salah satunya laboratorium forensik, kemampuan melakukan identifikasi, tim DVI (Disaster Identification), serta medical examination legal.

"Berarti harus dibangun kemampuan seperti itu. Padahal, polisi sudah ada. Belum lagi pertanggungjawaban hukumannya jika nanti penyelidikannya salah. Jadi suatu kewenangan yang kita dapatkan, harus dipertanggungjawabkan risiko ke depan," kata Tito.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya