KPK Diminta Serius Usut Dugaan Suap di Kejati DKI

Sudi Wantoko dan Dadung Pamularno terjerat kasus suap PT Brantas Abipraya.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/ Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini masih belum menetapkan pihak penerima terkait kasus dugaan suap untuk penghentian perkara di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Sejauh ini, lembaga anti-rasuah ini baru menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni dua pejabat PT Brantas Abipraya, Dandung Pamularno dan Sudi Wantoko, sebagai pihak pemberi suap serta satu orang swasta bernama Marudut Pakpahan sebagai perantara.

Trio Penyuap Kajati DKI Dieksekusi ke Lapas Sukamiskin

Pada kasus ini, KPK menyangkakan ketiganya dengan dugaan penyuapan dan atau melakukan percobaan penyuapan kepada Kajati DKI, Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI, Tomo Sitepu.

Bahkan, pada tuntutannya, KPK yang diwakili Penuntut berkeyakinan bahwa ketiga terdakwa hanya melakukan percobaan penyuapan. Penuntut menilai dalam kasus itu belum ada 'meeting of mind' atau kesamaan pemikiran/kehendak antara pemberi dan penerima.

Abaikan Putusan Hakim, Pimpinan KPK Langgar Kode Etik

Pertimbangan Penuntut Umum itu kemudian dinilai sebagai upaya menyelamatkan pihak yang diduga sebagai pihak penerima dalam kasus ini.

"Konstruksi yang digunakan JPU (Jaksa Penuntut Umum) di Tuntutannya itu menurut saya merupakan upaya "menyelamatkan" pihak penerima," kata pakar Hukum Pidana dari Universitas lndonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, dalam pesan singkatnya, Minggu 4 September 2016.

Kajati dan Aspidsus DKI Berisiko Terjerat Kasus Suap

Lebih lanjut, Gandjar menilai bahwa konstruksi percobaan penyuapan yang diuraikan JPU dalam Tuntutannya, salah. "Percobaan suap itu bila penyuap enggak jadi ngasih. Lha ini kan udah diserahkan. Cuma (menurut JPU) belum sampai di tujuan," ujar dia.

Menurut Gandjar, penyuapan sudah selesai terjadi meski perantara suap yakni Marudut, tertangkap tangan sebelum sempat menyerahkan uang kepada Sudung dan Tomo.

"Konstruksi "percobaan penyuapan" yang digunakan JPU mempertegas dugaan saya bahwa ada upaya menyelamatkan penerima," ujar Gandjar.

Namun pada putusannya, Hakim berpendapat lain dengan tuntutan JPU. Hakim menilai perbuatan Sudi, Dandung serta Marudut (disidangkan terpisah) merupakan tindak penyuapan sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Majelis Hakim yang diketuai Yohannes menyatakan ketiga terdakwa terbukti menjanjikan sesuatu kepada Sudung dan Tomo.

Kendati uang USD148,835 atau sekitar Rp2 miliar dari Dandung yang dibawa Marudut belum tersampaikan, namun Hakim menilai penyuapan sudah terjadi. Tertangkapnya Marudut, dinilai Hakim tidak menghapuskan fakta bahwa Marudut berniat menyerahkan uang kepada Sudung dan Tomo agar menghentikan penyelidikan kasus penyimpangan keuangan PT Brantas.

"Menurut majelis perbuatan terdakwa (Marudut) yang tidak memberikan kepada Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang sudah dalam wilayah yang dipandang untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu," kata Hakim.

Putusan Majelis Hakim sendiri diambil tidak dengan suara bulat. 2 Hakim anggota berbeda pendapat dengan menyebut bahwa terdakwa terbukti melakukan percobaan penyuapan, bukan penyuapan.  Kedua hakim anggota itu adalah Casmaya dan Eddy Soepriyanto.

Menurut Gandjar, putusan hakim itu secara tidak langsung menyebut ada pihak penerima dalam perkara tersebut yang diminta pertanggung jawaban pidana.

Bahkan, pertimbangan dalam putusan hakim tersebut dinilai dapat dijadikan dasar untuk KPK menjerat Sudung dan Tomo sebagai pihak yang diduga penerima suap. Karena Hakim menilai sudah ada 'meeting of mind' antara pihak pemberi suap dengan Sudung dan Tomo.

"Menurut saya bisa. Selanjutnya berdasarkan fakta persidangan, Penyidik KPK dapat menetapkan Sud dan Tom menjadi tsk (tersangka)," ujar Gandjar.

KPK Bantah Lindungi Pihak Penerima

Dikonfirmasi terpisah, pihak JPU dari KPK membantah adanya upaya menyelamatkan pihak penerima dalam perkara ini.

"Wah enggaklah, kami enggak kenal pak Sudung," kata Ketua Tim JPU, Irene Putri.

Jaksa Irene menyebut bahwa pihaknya berbeda prinsip dengan Majelis Hakim dalam perkara ini. Menurut Irene, pertimbangan hakim menyebutkan tidak penting pembuktian adanya kesepakatan antara pemberi dan penerima.

"Bahkan ketika si penerima suap menolak suap pun maka terhadap pemberi tetap dapat dikenakan. Ini yang berbeda dengan kami, JPU. Karena menurut kami dalam menjanjikan pun, yang menerima janji pun harus sepakat dengan janji itu, meski belum ada penyerahan sesuatu. Pendapat JPU hanya berdasar teori saja," ujar Jaksa Irene.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya