10 Ribu Lebih Tanda Tangan Menolak Remisi Koruptor

Ilustrasi koruptor dipenjara.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Kebijakan pemerintah membahas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (RPP Warga Binaan) menuai protes.

Kabar Sandra Dewi Dicekal Kejagung, Pengacara Harvey Moeis Bilang Begini

Ketentuan itu dianggap akan menguntungkan koruptor, karena memberi celah agar penjahat kerah putih ini lebih cepat keluar dari penjara.

Dalam laman petisi daring (online) yang digagas oleh change.org, rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 itu, tercatat sudah lebih dari 10 ribu pendukung yang menolak revisi itu dilakukan.

Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni Ungkap 2 Hal yang Dilakukan Guna Mencegah Korupsi

Petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly itu menganggap revisi PP Hak warga binaan itu selama ini telah berjalan dengan baik. Ia mengetatkan pemberian remisi kepada napi korupsi.

Namun demikian, kini PP itu hendak direvisi. Salah satu dasar yang menjadi pertimbangan adalah berlebihnya kapasitas tampung penjara di Indonesia. Atas itu, petisi daring itu mengajak publik menolak keras revisi PP warga binaan tersebut.

Komjak Soroti Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Emas di Kejaksaan

"Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa remisi atau pemotongan masa pidana sebanyak 6 bulan, sedangkan Nazaruddin dapat remisi sebanyak 5 bulan. Belum lagi dalam satu tahun para terpidana kasus korupsi (koruptor) bisa mendapat lebih dari satu kali remisi. Terbayang bukan, jika syarat pemberian remisi kepada koruptor lebih diperlonggar?," tulis pembuat petisi Dewi Anggraeni Puspitasari.

Lima Guru Besar Menolak

Di bagian lain, sejak mencuatnya isu soal obral remisi koruptor lewat revisi PP Hak Warga Binaan, lima guru besar hukum di Indonesia pun ikut menyurati Presiden Joko Widodo.

Kelima guru besar itu yakni, Mahfud MD, Hibnu Nugroho, Rhenald Kasali, Sulistyowati Irianto dan Marwan Mas. Mereka bersepakat menolak pengesahan regulasi yang mempermudah pemberian remisi bagi koruptor.

Dalam surat itu, kelima guru besar ini mendesak agar revisi PP itu dibatalkan, karena berpengaruh pada komitmen pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Mengutip dalam surat tersebut, terdapat tiga alasan besar menolak rencana pemerintah memudahkan pemberian remisi bagi koruptor. Pertama, secara prosedur, proses penyusunan RPP Warga Binaan ini tidak transparan dan tidak partisipatif, serta tidak disertai dengan naskah akademik atau kajian yang menjelaskan alasan atau latar belakang perlunya RPP ini.

Kedua, secara subtansi, RPP usulan pemerintah tersebut jelas menguntungkan koruptor karena berupaya memberikan banyak celah dan peluang agar koruptor lebih banyak dan lebih cepat keluar penjara.

Syarat utama sebagai justice collaborator dan adanya rekomendasi lembaga yang menangani perkara korupsi dari sang koruptor–seperti KPK–dihilangkan dalam usulan RPP. Setahun napi korupsi sangat mungkin mendapat 3 hingga 4 kali remisi yaitu umum, khusus, tambahan dan kemanusiaan.

Ketiga, alasan RPP untuk mengurangi kelebihan kapasitas penghuni penjara tidak efektif ditujukan kepada napi korupsi. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatn per Juli 2016 menyebutkan jumlah narapidana yang menghuni rutan dan penjara berjumlah 197.670 orang dan sebanyak 3.801 (1,92 %) di antaranya adalah narapidana korupsi.

"RPP akan menjadi pertaruhan komitmen pemberantasan korupsi Pemerintah Jokowi-JK. Tanpa ada campur tangan Presiden, dikhawatirkan ada penumpang gelap dan nuansa politis dibalik gagasan mencabut pengetatan syarat pemenuhan hak bagi koruptor sebagaimana tertuang dalam RPP ini."

(ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya