Abaikan Putusan Hakim, Pimpinan KPK Langgar Kode Etik

Lima pimpinan KPK saat pertemuan di gedung KPK, Senin (29/2/2016)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua menilai tak seharusnya pimpinan KPK melakukan pembiaran dalam pengusutan suatu perkara. Bila majelis hakim sudah menyatakan seseorang terlibat dalam suatu perkara, maka penyidik dan pimpinan harus segera menindaklanjuti putusan tersebut.

KPK Disarankan Eksaminasi Putusan Kasus Suap Kajati DKI

Pernyataan Abdullah itu menyikapi vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menyatakan dua petinggi PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno serta Marudut terbukti bersalah menyuap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI, Tomo Sitepu.

Namun, sampai saat ini dua pejabat Korps Adhiyaksa itu belum juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, vonis hakim menyatakan keduanya terlibat dalam upaya penghentian penyidikan dugaan korupsi PT Brantas yang ditangani Kejati DKI.

KPK Buka Peluang Penyelidikan Baru Kasus Suap Kajati DKI

"Majelis hakim sudah mengatakan seseorang terlibat dalam satu kasus maka otomatis penyidik KPK harus segera mem-follow up-nya (menindaklanjuti)," kata Abdullah dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis, 8 September 2016.

Abdullah juga menilai para pimpinan KPK berpotensi melakukan pelanggaran kode etik jika dengan sengaja mengabaikan putusan pengadilan.

KPK Diminta Serius Usut Dugaan Suap di Kejati DKI

"Jika ada unsur kesengajaan (mengabaikan putusan pengadilan), baik oleh Deputi maupun Komisioner maka dapat dibentuk Komite Etik KPK untuk memeriksa komisioner yang membiarkan hal tersebut," ujarnya.

Tidak hanya komite etik, menurut Abdullah Hehamahua, tidak ditindaklanjutinya proses hukum terhadap Sudung dan Tomo dapat menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat terhadap KPK. Seperti yang pernah dikatakan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri bahwa KPK sekarang terkesan terlalu masuk ranah politik.

"Imbauan saya, baik komisioner maupun deputi segera memproses (putusan pengadilan) sesuai ketentuan yang ada. Jika tidak, maka masyarakat akan berkesimpulan seperti anggapan Megawati bahwa KPK sekarang sudah bermain politik," ujarnya.

Diwartakan sebelumnya, Penasihat Hukum Sudi dan Dandung, Hendra Hendriansyah menjelaskan majelis hakim menyatakan kliennya sebagai pemberi suap, maka harus ada pihak penerima suap yang juga diminta tanggungjawab secara hukum.

"Kalau bicara keadilan harusnya begitu (ada yang dimintai pertanggungjawaban). Karena delik suap adalah delik berpasangan, enggak bisa berdiri sendiri," kata Hendra usai vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat 2 September 2016.

Hendra menekankan, majelis hakim menilai uang suap sebesar Rp2 miliar yang diserahkan lewat Marudut untuk diberikan kepada Sudung dan Tomo. Karena itu, dengan mempertimbangkan sisi keadilan, Sudung dan Tomo mesti dijadikan tersangka.

"Tentunya harus lah ada keseimbangan dan kadilan bahwa dari sisi pihak Kejaksaaan entah siapa pun, Kepala Kejati DKI atau Asisten tindak pidana khusus ikut dijadikan sebagai tersangka," ujarnya.

Dalam putusan, dua pejabat PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno masing-masing divonis 3 tahun dan 2 tahun enam bulan penjara. Keduanya juga diminta membayar denda masing-masing sebesar Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan dan Rp100 juta subsidair dua bulan kurungan.

Sementara itu, Marudut, perantara suap dua pejabat PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno divonisi tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan penjara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya