Reklamasi Berlanjut, Walhi: Contoh Buruk Penegakan Hukum

Jumpa pers Walhi. (Foto iustrasi).
Sumber :
  • Lilis Khalisotussurur

VIVA.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik rencana pemerintah pusat melalui Kemenko Maritim dan Sumber Daya yang ingin melanjutkan proyek reklamasi Pulau G.

PKS Sindir Pemindahan Ibu Kota Kompensasi Gagalnya Reklamasi Jakarta

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengatakan, pernyataan pemerintah melalui Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan terkait keputusan untuk melajutkan reklamasi, khususnya Pulau G, merupakan pernyataan melawan hukum. Pasalnya, pengadilan telah mencabut sementara izin reklamasi Pulau G sampai keputusannya memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

"Jelas-jelas sudah ada keputusan PTUN, izin dicabut dan sampai dengan adanya keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, artinya di level Mahkamah Agung yang paling tinggi," kata Nur Hidayati di Sekretariat Walhi, Jalan Tegal Parang Utara nomor 14, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis 15 September 2016.

Usai Reklamasi Dihentikan, Anies Siapkan Perubahan Payung Hukum

Menurut Nur, apa yang dilakukan oleh Menko Luhut sesungguhnya merupakan tamparan keras bagi Presiden Joko Widodo. Karena di berbagai kesempatan, Presiden Jokowi berkomitmen untuk menegakkan hukum, namun justru pemerintah sendiri yang tidak mentaati hukum.

Dengan adanya putusan tersebut, Nur menekankan seharusnya pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi tidak boleh melanjutkan reklamasi, khususnya pulau G. Pemberian izin untuk melanjutkan reklamasi, khususnya pulau G, ditunda terlebih dahulu hingga ada keputusan berkekuatan hukum tetap.

Anies Dipanggil Zulkifli Hasan, Bahas Reklamasi dan Pilpres 2019

Andaikan pemerintah tetap bersikeras melanjutkan proyek reklamasi, maka keputusan ini merupakan upaya melawan hukum. Pemerintah akan menjadi preseden hukum yang buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, dengan mempraktekkan model pembangunan yang dilakukan serampangan, dengan melabrak konstitusi.

"Contoh buruk bagi upaya-upaya penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia," ucapnya.

Selain itu, jika proyek itu tetap dilanjutkan, akan berdampak cukup buruk terhadap nelayan, eksosistem laut dan juga terhadap pilar-pilar dalam bernegara maupun berdemokrasi di Indonesia.

"Risiko yang paling parah kalau pemerintah bersikukuh, pertama tentu saja akan menimbulkan pertanyaan besar terhadap demokrasi kita. Apakah negara kita masih negara yang demokrasi atau negara yang otoriter. Dimana eksekutif bisa begitu saja atau menegasikan pilar demokrasi yang lain. Itu secara umum," ujarnya.

Kedua, pola-pola menabrak aturan hukum seperti ini lanjut Nur, akan ditiru oleh pemerintah-pemerintah daerah yang tengah gencar mengkavling-kavling pesisir dan laut di berbagai daerah, seperti reklamasi Teluk Benoa, reklamasi pesisir Makassar, reklamasi Teluk Palu, reklamasi Teluk Kendari, reklamasi di Manado, reklamasi Balikpapan, dan reklamasi di Maluku Utara.

Kasus ini juga akan ditiru pemerintah daerah yang menyediakan kawasannya untuk diambil tanah dan pasirnya sebagai bahan material reklamasi, antara lain dari Banten, NTB, Jawa Timur dan Jawa Barat. Penghancuran kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena diamini oleh Pemerintah Pusat.

"Penghancuran kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena diamini oleh Pemerintah Pusat," kata dia.

Dalam kasus Teluk Jakarta, Nur mengatakan, sejak awal izin reklamasi sudah menyalahi Undang-Undang tentang pengelolan pesisir dan pulau-pulai kecil yang mensyaratkan harus ada zonasi. Proses amdal dalam kasus reklamasi juga diabaikan.

"Nah proses-proses yang seperti ini yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Karena kita negara yang sedang ingin terwujudnya good goverment. Tata kelola pemerintahan yang baik, baik dalam lingkungan hidup maupun yang lain-lainnya.”

(mus)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya