Mendagri Berharap Kasus Korupsi e-KTP Segera Tuntas

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Danar Dono

VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo ingin kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) bisa segera tuntas. Alasannya, bertahun-tahun kasus tersebut mengambang tak selesai, dinilai bisa mengganggu kinerja Kementerian Dalam Negeri.

Demo Tolak Pemekaran Ricuh, Sejumlah Mahasiswa Papua Ditangkap

"Kami ingin tuntas, jangan sampai mengganggu kerja Kemendagri," ujar Tjahjo di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara 7,Jakarta Pusat, Senin 4 Oktober 2016.

Namun demikian, Tjahjo memahami bahwa kerja KPK dalam melakukan penyidikan memang memerlukan tahapan prosedur yang harus diikuti sehingga tidak bisa diburu-buru.

Daerah Diminta Percepat Bentuk Perda Retribusi Persetujuan Bangunan

"Ini kasus juga diproses bertahap. Soal KPK dinilai lamban atau tidak, kan mereka harus mengumpulkan alat bukti yang cukup. Ada proses kesaksian, ini bukan urusan uang kecil, ada kebijakan, ada soal dana dan menurut beberapa saksi ini kan besar," kata Tjahjo.

Terkait kasus itu, Tjahjo menyoroti tender e-KTP yang dimenangkan oleh perusahaan asing. Akibatnya, data kependudukan Indonesia dimiliki perusahaan asing tersebut.

Mendagri: ASN Harus Bangun Pola Pikir dan Budaya Kerja Melayani Publik

"Kenapa yang memborong kemarin itu perusahaan asing sehingga mereka memiliki data kependudukan kita. Saya tidak bisa ambil data yang sedang dipegang oleh orang asing dan yang punya tender ini," kata dia.

KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman, sebagai tersangka proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis (e-KTP).

Penyidik KPK menduga Irman menyalahgunakan kewenangannya sehingga menimbulkan kerugian negara dalam proyek senilai Rp6 triliun itu. KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Irman sebagai tersangka.

Irman sendiri dalam proyek e-KTP ketika itu merupakan Kuasa Pengguna Anggaran. Dia diduga bersama-sama dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sugiharto melakukan perbuatan melawan hukum sehingga proyek tersebut mengalami kerugian keuangan negara mencapai Rp2 triliun lebih.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya