Pengamat: Hakim Tertangkap, Putusan MK Terdeligitimasi

Tanggapan MK Atas Operasi Tangkap Tangan Patrialis Akbar oleh KPK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id – Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani menilai, tertangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah sebuah prahara bagi institusi pengawal konstitusi tersebut.

MA Kurangi Hukuman atas Hakim MK Patrialis Akbar

"Dulu Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 juga tertangkap tangan KPK. Ditangkapya seorang hakim MK memiliki dampak serius dan dampak ikutan pada produk kerja MK," ujar Ismail dalam keterangannya, Kamis 26 Januari 2017.

Alasannya, hakim MK adalah pejabat negara kelas negarawan, yang seharusnya tidak memiliki interest apapun dalam bekerja kecuali mengawal konstitusi dan menjaga paham konstitusionalisme.

Ajukan PK, Patrialis Bantah karena Hakim Artidjo Pensiun

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim Konstitusi memiliki daya rusak lebih serius dibanding suap biasa.

Sebab, kata dia, kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.

Polri Ragukan Informasi Soal Tito Karnavian Penerima Suap

"Putusan MK adalah erga omnes, berlaku bagi semua orang, meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh satu orang," kata dia.

Ia mencontohkan, bagaimana sebuah putusan MK berimbas ke khalayak luas. Misal, jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan, berarti membatalkan produk kerja 550 anggota DPR dan presiden yang bersifat final and binding.

"Karenanya, atas dasar kewenangannya yang sangat besar itu, maka dugaan memperdagangkan putusan, sebagaimana dipraktikkan oleh Patrialis Akbar, memiliki daya rusak luar biasa yang bisa mendelegitimasi banyak putusan MK dan kelembagaan MK," ujarnya menambahkan.

Ia berharap, MK sebagai lembaga pengawal konstitusi yang berada di garis tepi menjaga kualitas produk UU dan mengadili sengketa antarlembaga negara. Maka, prahara suap ini bisa disikapi secara serius oleh berbagai pihak.

Pertama, KPK, sebagai lembaga anti rasuah itu harus menelisik lebih dalam potensi keterlibatan hakim lain dan staf di Sekretariat Jenderal MK, karena perkara korupsi biasanya tidak hanya melibatkan aktor tunggal;

Kedua, Dewan Etik MK, harus mengambil tindakan terhadap Patrialis Akbar, sesuai mekanisme kerja Dewan Etik MK, sehingga memudahkan kerja KPK.

Ketiga, sejalan dengan agenda revisi UU MK, DPR dan Presiden perlu mengkaji dan mengatur lebih detail penguatan kelembagaan MK, khususnya perihal pengisian jabatan Hakim MK, pengawasan, standar calon hakim. Termasik menyusun regulasi perihal manajemen peradilan MK yang kontributif pada pencegahan praktik korupsi.

Tak ketinggalan, Ismail pun mengungkapkan, bagaimana rekam jejak Patrialis dan proses pencalonannya menjadi hakim MK pada Juli 2013 silam. Karenanya, banyak pihak tidak terkejut dengan peristiwa yang saat ini menimpa mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

"Patrialis menjadi hakim MK tanpa proses seleksi yang wajar, karena hanya ditunjuk oleh SBY ketika itu, tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan UU, setelah tergeser dari kursi Menteri Hukum dan HAM. Proses seleksinya pun dipersoalkan oleh organisasi masyarakat sipil, hingga berujung ke PTUN." (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya