Kisah Sutikno 20 Tahun Memunguti Sampah Tanpa Bayaran

Sutikno, dijuluki Si Manusia Sungai, karena aktivitasnya sehari-hari selama 20 tahun memunguti sampah di bantaran sungai di Semarang, Jawa Tengah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id - Sutikno, pria berusia 60 tahun itu, dijuluki si manusia sungai. Bukan karena dia lahir di sungai atau berumah tinggal di kali. Warga menyebutnya begitu karena aktivitas sehari-harinya memunguti sampah-sampah di bantaran sungai Kota Semarang, Jawa Tengah.

YouTube Luncurkan sebuah Serial Dokumenter 5 bagian berjudul “Seribu Kartini”

Pria bertubuh pendek warga Kampung Purwodiningratan itu sudah lebih 20 tahun beraktivitas memunguti sampah-sampah di sungai lalu dibuangnya ke tempat pembuangan akhir sampah. Wilayah operasinya ialah kawasan Pekunden hingga pintu air Mberok.

Sutikno mengerjakannya setiap hari; kadang pagi, lain waktu siang. Tapi pokoknya saban hari. Tak ada yang mengupahnya atau bahkan sekadar memberikan imbalan uang. Motivasi utamanya bukan uang, tetapi tak ingin melihat kampungnya kebanjiran akibat sampah menyumbat aliran sungai.

Kisah 2 Pemuda Mualaf yang Bikin Geger, Orang Sekampungnya Auto Masuk Islam

Kisah Sutikno Si Manusia Sungai Asal Semarang

Sutikno, dijuluki Si Manusia Sungai, karena aktivitasnya sehari-hari selama 20 tahun memunguti sampah di bantaran sungai di Semarang, Jawa Tengah. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)

Viral Kisah Pilu Seorang Suami Rela Jual Organ Tubuh demi Bisa Hidup Bersama Istri

"Tiap harinya saya begini, ngambili sampah di sungai dengan karung. Lalu saya buang ke TPA (tempat pembuangan akhir sampah). Enggak sadar kalau sudah dua puluh tahun saya jalani," katanya saat ditemui VIVA.co.id pada Jumat, 7 April 2017.

Sutikno melakoni pekerjaan tanpa bayaran itu sejak tahun 1997. Mulanya gara-gara kampungnya kebanjiran akibat arus sungai terhambat tumpukan sampah. Lalu dia berinsiatif membersihkannya sehingga aliran sungai tak tersendat.

Dia mengerjakannya secara manual. Sampah dipunguti satu per satu, dimasukkan ke karung lusuh, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah. Begitu seterusnya setiap hari.

Tiada yang membantu

Kakek pengayuh becak itu mengaku harus membagi waktu untuk menjalankan aktivitasnya memunguti sampah. Biasanya, aktivitas di sungai dilakoninya tiap pagi atau sore. Sisa waktu lain digunakan untuk mengayuh becak.

Perjuangan Sutikno bergumul dengan sungai bukan tiada hambatan. Kejadian sungai berarus besar kerap menyulitkannya memungut sampah. Ia pun berinisiatif membuat rakit sederhana sebagai sarana transportasi. Perjalanan bersih-bersih sungai bahkan dilakukan hingga puluhan kilometer.

"Alat saya, ya, tongkat dan karung ini saja. Enggak ada yang mau membantu saya. Warga enggak mau membantu saya sebab takut kena pecahan kaca dan digigit ular," ujar bapak 14 anak ini.

Sutikno kadang tak menolak orang yang berempati kepadanya. Tak jarang, di tengah pekerjaan itu warga memberinya uang Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Tapi uang itu dibelanjakannya untuk membeli karung, cangkul, dan gerobak angkut.

Dalam seminggu, Sutikno mampu mengumpulkan sampah dari sungai hingga ratusan karung. Beberapa sampah ia pilah untuk dijual dan sisanya dibuang ke TPA Jatibarang, Semarang.

Penghargaan

Hal yang dilakoni Sutikno selama ini diakuinya kebanggaan tersendiri. Baginya, cara sederhana itu sedikitnya mampu menginspirasi anak-anaknya. Ia bahkan tak merasa malu dengan aktivitas langka yang sudah menjadi hobinya, meski usianya kian senja.

"Anak-anak saya tidak ada rasa malu sama sekali melihat saya seperti ini, meskipun beberapa sudah jadi sarjana dan berkeluarga," katanya seraya menyeka keringat di dahinya.

Putri sulung Sutikno, Nia Sugoro, bersyukur dan bangga ayahnya memiliki hati mulia sebagai seorang yang peduli sungai. Ayahnya sosok yang ramah dan perhatian dengan pendidikan anak.

"Ini adalah pendidikan bapak yang sesungguhnya. Saya senang bapak saya melakukan hal itu. Belum tentu orang-orang mau hal serupa," ujar Nia.

Jasa sang ayah yang peduli sungai beberapa tahun silam memang sempat diganjar penghargaan. Kala itu penghargaan diberikan Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, karena provinsi tersebut mendapat Piala Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya