ATVSI: Draf RUU Penyiaran Masih Jauh dari Industri Sehat

Diskusi ATVSI di Yogyakarta, Jumat (12/5/2017).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Istimewa

VIVA.co.id – DPR menargetkan akhir tahun ini mengesahkan revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2012. Namun, draf revisi RUU Penyiaran yang menjadi inisiatif DPR masih jauh dari harapan menciptakan industri penyiaran yang sehat.

Industri Penyiaran Ditegaskan Berperan Penting Dongrak Ekonomi

Neil R Tobing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), menjelaskan hal yang tak sehat dalam draf RUU Penyiaran salah satunya penetapan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia atau RTRI. Langkah ini dinilai langkah mundur di tengah era demokratisasi penyiaran dan sangat berpotensi merugikan lembaga penyiaran yang ditetapkan pemerintah sebagai penyelenggara multipleksing.

"Lembaga penyiaran seperti Viva Group, MNC Gruop, Trans Group maupun Media Indonesia Group, SCTV dan Indosiar empat tahun yang lalu telah membangun infrastruktur siaran digital dan telah membayar BHP kepada pemerintah tentunya akan merugi triliunan rupiah dengan investasi yang ditanamkan untuk membangun infrastruktur siaran digital," katanya dalam acara Bincang-Bincang Media Masa Depan di Yogyakarta, Jumat malam, 12 Mei 2017.

Kominfo: UU Cipta Kerja Topang 3 Hal Fundamental Komunikasi-Penyiaran

Penetapan RTRI sebagai penyelenggara tunggal multipleksing juga berpotensi melanggar Undang-undang Anti Monopoli. Selain itu, juga tak menjamin terselengaranya standar layanan penyiaran digital yang baik dan kompetitif dan tentunya jaminan kebebasan menyampaikan pendapat di layar kaca.

"Alat yang kita siapkan untuk infrastruktur penyiaran digital akan mangkrak dan ratusan tenaga kerja yang sehari-hari bertugas menjaga mesin dan tower penyiaran akan nganggur semua," ujarnya.

Pemerintah Diminta Serius Bangun Ekosistem Digital Bidang Penyiaran

Neil yang juga Direktur Independen Viva Group ini juga mengatakan penyiaran digital yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga penyiaran multipleksing dilakukan oleh LPP dan LPS yang dikenal dengan sistem hybrid. Hal ini  merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan solusi serta bentuk nyata demokratisasi penyiaran.

"Kalaupun ada lembaga penyiara  yang sepakat dengan single mux adalah lembaga penyiaran yang belum siap dengan infrastruktur penyiaran digital dan lembaga penyiaran tersebut baru saja berdiri di Indonesia dan jumlahnya sangat sedikit," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, Ishadi SK mengatakan terkait dengan draf RUU penyiaran tersebut ATVSI telah diundang Badan Legislasi DPR pada pada tanggal 3 April 2017. Undangan ini memberikan tanggapan dan masukan mengenai beberapa isu penting yang menjadi roh dari RUU Penyiaran.

"ATVSI juga telah menyampaikan naskah Akademik dan Draf RUU Penyiaran kepada Baleg dan Panja RUU Penyiaran DPR RI," ujarnya.

Menurut dia, ada tujuh masukan penting dalam draf RUU Penyiaran yang telah disepakati oleh stakeholder penyiaran di antaranya rencana strategis dan blue print digital, pembentukan wadah dan keterlibatan asosiasi media penyiaran di Indonesia dalam perizinan dan kebijakan penyiaran digital, termasuk pembentukan badan migrasi digital yang bersifat adhoc.

Kemudian, ada penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaran multipleksing, durasi iklan layanan masyarakat dan iklan komersial, pembatasan tayangan rokok, siaran lokal dan proses pencabutan izin penyelenggara penyiaran atau IPP.

"Dalam iklan rokok, misalnya. Tidak boleh dilarang namun dibatasi jam tayangnya, seperti di atas jam 10 malam. Siaran lokal menggunakam durasi 10 persen dari durasi seluruh siaran dan pencabutan IPP harus melalui mekanisme peradilan," jelasnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya