Angket DPR Terhadap KPK Berangkat dari Asumsi Tak Tepat

Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) berjabat tangan dengan sejumlah anggota Pansus Hak Angket KPK sebelum rapat pemilihan Ketua Pansus di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Sumber :
  • ANTARA/M Agung Rajas

VIVA.co.id – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting, menilai hak angket DPR terhadap KPK berangkat dari asumsi yang tak tepat, yakni bahwa KPK berjalan tanpa pengawasan. Padahal sebagai penegak hukum yang jalani kewenangan pro justitia, pengawasan terhadap KPK melekat dalam sistem peradilan pidana.

MK Bantah Inkonsisten Soal UU MD3

Misalnya, kata Miko, ketika melakukan penyadapan, KPK wajib menghadirkan rekaman penyadapan ke pengadilan, agar dapat diterima sebagai bukti. Begitu juga ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka lembaga antirasuah ini wajib melimpahkan ke pengadilan untuk diperiksa secara terbuka.

"Hal ini berlaku sama untuk kewenangan-kewenangan penegakan hukum KPK lainnya. Artinya, KPK dilengkapi sistem pengawasan dan harus tunduk pada sistem peradilan pidana yang mengharuskan adanya mekanisme saling uji," kata Miko saat berbincang dengan Viva.co.id melalui pesan singkatnya, Jumat, 16 Juni 2017.

Rekomendasi Pansus Angket Masuk Akal, KPK Harus Patuhi

Miko menilai dalam konteks kewenangan, hak angket ini akan bertentangan dengan independensi KPK dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi, seperti kasus e-KTP, BLBI, dan seterusnya. Apalagi terdapat konflik kepentingan di antara pengusung dan anggota Pansus Hak Angket.

"Oleh karena itu, tak salah muncul kesan bahwa ini bukan aspirasi rakyat (konstituen) melainkan aspirasi anggota Pansus Hak Angket sendiri," kata Miko.

PKS dan Demokrat Kompak Tolak Rekomendasi Pansus KPK

Menurut Miko, gangguan terhadap independensi KPK bisa terbuka dari wacana permintaan informasi atau dokumen terkait pengungkapan perkara. Sebagaimana ketentuan Pasal 205 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan KPK wajib hadir dan menyerahkan segala dokumen apabila dimintakan oleh Pansus Hak Angket.

Namun, kata Miko, lembaga superbody itu dapat saja menolak untuk memberikan informasi atau dokumen terkait perkara kepada Pansus Hak Angket. Sebab, ada ketentuan undang-undang lainnya yakni, Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan bahwa materi penyidikan adalah dokumen yang bersifat dikecualikan untuk dapat diakses.

"Pengungkapan informasi maupun dokumen kepada Pansus Hak Angket membuka peluang tidak hanya gangguan terhadap independensi KPK. Tetapi juga independensi badan yudisial (pengadilan) dalam memutus perkara-perkara yang sedang atau akan diperiksa di depan persidangan," kata Miko.

Selain itu, tambah Miko, penggunaan angket ini akan sangat bertentangan dengan prinsip independensi penegakan hukum. Karenanya, sebaiknya DPR berpikir ulang untuk meneruskan pelaksanaan hak angket ini.

"Apabila diteruskan dengan mengabaikan prinsip independensi penegakan hukum, maka kesan bahwa hak angket ini bertujuan untuk political shaming dan mendelegitimasi KPK semakin terasa kuat adanya," kata Miko.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya