Fadli Zon Tuding Pemerintah Jokowi Rezim Paranoid Ormas

Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zahrul Darmawan

VIVA.co.id - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, menuding pemerintah Presiden Joko Widodo sebagai rezim yang paranoid atau khawatir berlebihan pada organisasi kemasyarakatan tertentu.

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), kata Fadli, merupakan cerminan betapa pemerintah khawatir pada organisasi yang dianggap mengancam eksistensi negara. Ormas-ormas tertentu dituding hendak mengganti dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ini pemerintah paranoid saja. Tidak ada keadaan yang memaksa, tidak ada yang ingin mengganti Pancasila. Coba saja tunjuk mana yang mau mengganti Pancasila," kata Fadli dalam program Indonesia Lawyers Club tvOne pada Selasa malam, 18 Juli 2017.

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dituding anti-Pancasila, kata Fadli, menjadi pihak yang paling dirugikan atas perppu itu. Padahal tidak ada keadaan yang memaksa sehingga pemerintah merasa perlu menerbitkan perppu.

Wakil Ketua Partai Gerindra mengaku pernah berdiskusi dengan Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI, di kompleks Parlemen di Jakarta. Dia menanyakan langsung kepada Ismail tentang pendapat HTI pada dasar negara Pancasila dan bentuk NKRI.

HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII, Polisi Akan Periksa Panitia Penyelenggara Acara

"Beliau (Ismail Yusanto) bilang HTI mendukung Pancasila, UUD 1945, bhinneka tunggal ika, dan NKRI," ujarnya.

Fadli tak memungkiri aktivitas HTI yang mengampanyek khilafah Islamiyah atau pemerintahan Islam. Namun dia menolak jika khilafah Islamiyah dianggap bertentangan dengan Pancasila. Andai pun dianggap bertentangan, sebaiknya diputuskan oleh pengadilan alih-alih tafsir tunggal pemerintah.

"Mengenai khilafah, silakan diperdebatkan di pengadilan. Kita belum tentu sepaham dengan itu tetapi diuji dulu di pengadilan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya