DJKI Bersama Kementerian Adakan Forum Group Discussion

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM
Sumber :

VIVA – Pemerintah Indonesia saat ini berencana akan mengaksesi Hague Agreement, khususnya untuk Geneva Act 1999 yang merupakan versi terbaru dari Hague Agreement.

Itjen Kemenkumham Bicara soal Kemajuan Digital ke Anak Buah

Perlu diketahui Hague Agreement tersebut adalah suatu sistem yang memungkinkan pemilik desain untuk mendaftarkan desain mereka ke sejumlah negara dan/atau organisasi antar pemerintah (khususnya Community Design Office), tanpa harus membuat permohonan terpisah untuk tiap-tiap negara dan/atau organisasi antar pemerintah.

Berkenaan dengan rencana aksesi tersebut, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait mengadakan Forum Group Discussion (FGD) Pembahasan Persiapan Aksesi Hague Agreement.

Bikin Agen Informasi Pemasyarakatan, Ini yang Dibidik Ditjen PAS

Direktur Kerjasama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual (KI), Molan Tarigan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia juga akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000. Salah satu hal penting yang akan dibahas dalam revisi dimaksud diantaranya adalah ketentuan-ketentuan yang akan memungkinkan terlaksananya Hague Agreement.

“Dengan adanya Geneva Act 1999 ini memungkinkan perlindungan desain industri tidak hanya di satu negara tetapi di beberapa negara dengan formalitas yang minimal,” ucap Molan Tarigan saat membuka acara di Ruang Rapat DJKI, Jumat 15 Desember 2017.

11 Petugas Sipir di Sumut Terlibat Peredaran Narkoba di Lapas

Menurut Molan, dengan mengaksesi Hague Agreement tentu saja akan  menguntungkan bagi para pelaku usaha dan pendesain untuk mendapatkan perlindungan atas hasil desainnya ke beberapa negara sekaligus.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Erni Widhyastari menjelaskan mengenai keuntungan bila mengaksesi Geneva Act 1999 yaitu, sederhana dan ekonomis.

“Dimana sangat membantu untuk memberikan perlindungan di wilayah negara anggota hanya dengan melalui satu permohonan yang diajukan ke Biro Internasional WIPO (World Intellectual Property Organization),” ujar Erni dalam paparannya.

Erni menambahkan bahwa keuntungan lainnya adalah satu permohonan menggantikan serangkaian permohonan yang seharusnya diajukan secara terpisah ke masing-masing negara atau kantor regional yang menjadi tujuan permohonan pendaftaran desain industri.

“Fasilitas ini merupakan suatu elemen penting dalam kerja sama komersial internasional dan dapat membantu dalam meningkatkan perdagangan,” kata Erni.

Akademisi dari Program Studi Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Andar Bagus Sriwarno, menyarankan bahwa perlindungan desain industri untuk kebutuhan lintas negara (Hague System) perlu dibangun sistem yang kuat untuk mengantisipasi dampak pelanggarannya.

“Perlu sinergi kegiatan terkait sosialisasi yang komprehensif melalui jejaring lembaga sehingga terbangun kesadaran perlindungan desain industri mulai dari sektor hulu hingga hilir melalui lembaga terkait,” ujar Andar memberi saran. (webtorial

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya