KPU Tetap Berlakukan PKPU Larangan Eks Napi Koruptor Nyaleg

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman (kanan)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA - Ketua Komisi Pemilihan Umum, Arief Budiman memastikan, institusinya akan tetap memberlakukan Peraturan KPU (PKPU) soal larangan eks napi koruptor menjadi caleg. Ia juga akan mengomunikasikan soal ini pada Kementerian Hukum dan HAM dan Presiden.

Tolak Ada Napi Koruptor Jadi Bacaleg, Ketua DPW Perindo DIY Pilih Mundur

"Iya (PKPU tetap diberlakukan). Belum (dipublikasikan). Nanti kami beri penjelasan dulu," kata Arief di kantor KPU, Jakarta, Jumat, 22 Juni 2018.

Ia akan menyampaikan hasil diskusi antara KPU dengan para pakar hukum pada Menkumham. Sebab, ia berharap secara administrasi PKPU juga diproses secara bagus.

Eks Koruptor Boleh Nyaleg, KPU Diminta Dorong Revisi UU Pemilu

"KPU akan berkomunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Hasil diskusi ini kami juga akan sampaikan kepada Kumham. Misalnya ada pasal-pasal dalam undang-undang, dalam peraturan segala macam yang didiskusikan tadi nanti kita akan sampaikan kepada Kumham. Kita lihat apa pendapat Kumham," kata Arief.

Ia bahkan sempat mengundang pihak Kemenkumham dalam diskusi bersama pakar hukum tapi mereka tak bisa hadir. Ia pun masih akan menunggu perkembangan soal ini hingga pekan depan.

Zumi Zola Ajukan PK, KPK Singgung Keseriusan MA Berantas Korupsi

Ia mengatakan, Kemenkumham sudah mengirimkan surat pada KPU soal tanggapan terhadap PKPU tersebut. Sehingga meminta KPU melakukan pengkajian.

"Kami kan juga punya pandangan sendiri. Kami merasa kalau punya pandangan sendiri takut bias. Takut ada bias kepentingan kita sendiri. Kalau gini kan (mengundang diskusi pakar hukum) netral," kata Arief.

Ia mengatakan, para pakar hukum berpendapat pemilu tidak boleh terganggu. Maka hal-hal yang bersifat administratif harus diselesaikan dan tak boleh ganggu hal-hal substantif.

"Pak Jokowi sudah beri komentar waktu itu dan komentarnya kan terserah KPU. Kami sudah mengajukan mudah-mudahan dalam waktu dekat kami sudah sampaikan perkembangan-perkembangan. Ya saya nunggu jadwal (Jokowi untuk bertemu)," kata Arief.

Sebelumnya, KPU mengundang sejumlah pakar hukum dan pemilu berdiskusi terkait Peraturan KPU soal larangan mantan napi korupsi menjadi caleg. Para pakar hukum berpendapat proses pengundangan menjadi ranah administrasi Kemenkumham. Ketika tak setuju dengan PKPU, maka menjadi ranah yudikatif.

Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti mengatakan, PKPU yang disusun KPU dianggap sudah memenuhi prosedur. PKPU pun sebenarnya sudah berlaku begitu ditandatangani.

"Cuma memang menurut UU 12/2011 tentang peraturan perundang-undangan harus ada proses pengundangan. Proses pengundangan ini sifatnya administratif, kalaupun ada hal-hal yang perlu diperbaiki konteksnya bukan dalam pengundangan tapi adalagi konteks lainnya, adalagi pengujiannya lewat Mahkamah Agung," kata Bivitri di Kantor KPU, Jakarta, Jumat, 22 Juni 2018.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi menilai, perdebatan pengundangan ini mestinya tidak boleh terjadi. Sebab sudah menjadi kewajiban Menkumhan mengundangkan PKPU ini.

"Karena kewajiban maka harus dilakukan. Karena proses pengundangan itu proses administratif di dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan," kata Veri pada kesempatan yang sama.

Menurutnya, PKPU tersebut pun sebenarnya sudah sah ketika ditetapkan KPU. PKPU ini sama dengan peraturan Mahkamah Konstitusi. Ketika peraturan itu ditetapkan maka peraturan itu berlaku. "Ini jalan terbaik untuk memecah kebuntuan ini," kata Veri.

Lalu, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi menilai, PKPU sesuatu yang urgen dan tidak bisa ditunda begitu panjang. Karenanya, proses penundaan oleh Menkumham tidak punya dasar hukum yang jelas.

"Karena menurut UU 12/2011 proses pengundangan itu hanya proses administratif. Permohonanan pengundangan itu kan sudah dilakukan, suka tidak suka, Kemenkumham harus melakukan pengundangan. Kalau Kemenkumham menganggap PKPU ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ini bukan ranahnya Kemenkumham, ini ranahnya cabang kekuasaan lain Yudikatif," kata Redi.

Ia berpendapat yang dilakukan Menkumham bentuk penyalahgunaan wewenang. Sebab, menghambat proses pengundangan.

"Menghambat proses reformasi birokrasi yang digiatkan Pak Jokowi ini stagnan, ini malah maladministrasi, UU pelayanan publik proses pengundangan itu hanya 10 hari, nah selama 10 hari tidak diproses maka itu dianggap diterima walaupun harus diajukan pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN)," kata Redi.

Ia mendukung KPU untuk segera memberlakukan, menyebarluaskan PKPU ini. Karena tahapan sudah dekat. "Kalaupun PKPU ini tidak diundangkan, kami berpendapat PKPU ini tetap bisa memiliki kekuatan hukum mengikat yang berlaku," kata Redi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya