FRI & Bahana Securitas Tidak Diberikan Mandat oleh Pelindo

Sumber :

VIVA.co.id – Anggota Pansus Pelindo II DPR RI Nizar Zahro meminta rapat Pansus Pelindo II di hentikan, pasalnya FRI dengan PT Bahana Securitas yang di undang di Pansus untuk memberikan masukan soal analisa keungan PT Pelindo II terkait perpanjangan kontrak PT JICT, karena tidak memiliki surat rekomendasi sebagai analisator.

Penyuap Politikus PDIP Sebut Suap Lazim untuk Dapat Proyek

Menurutnya, dua lembaga itu hanya diberikan mandat dan tugas oleh Komisaris dan Dirut PT Pelindo II mengaudit perpanjangan kontrak PT JICT.

"Setelah kita cek dua lembaga itu tidak diberikan mandat mengnalisa dari segi keuangan. Atas dasar itulah rapat tadi kita tunda dulu," ungkapnya kepada wartawan di DPR, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.

Ribuan Pil Ekstasi Asal Malaysia Diselundupkan Lewat Brankas

Pernyataan dari FRI dan Bahana Securitas, kata Politisi Gerindra itu, di tunda karena juga mereka tidak terlibat dalam perpanjangan kontrak JICT. Hal itu hasil kesimpulan dalam rapat bahwa rapat. Yang penting Pansus sudah tahu, bahwa perpanjangan terminal PT Kemas Koja diperpanjang sampai 2038 dengan nilai US$50.

"Karena mereka tidak terlibat, kita menunda rapat-rapat selanjutnya. Kita sebetulnya sama prinsipnya, apakah perpanjangan KSU Terminal PT Kemas Koja itu sesuai regulasi atau tidak? Kemudian bagaimana posisi hukum memperpanjang kontrak sebelum habis? Menyalahi regulasi atau tidak? Menyalahi aturan atau tidak? Kemudian apakah nilainya sama tidak," ujar Nizar.

Wakil Ketua MPR Terima Kunjungan Delegasi IeFS

Meski demikian, Nizar menilai bahwa Pansus masih punya kesempatan sampai tanggal 9 Februari yang akan datang untuk meminta analisa kesamaan komposisi saham. Karena kedua lembaga itu, telah menyatakan di depan pansus dan telah disumpah, bahwa dia tidak terlibat dalam perpanjangan kontrak.

"Kita akan mengundang beberapa pihak, yang pasti Direktur PT. Terminal Koja, apakah benar sesuai yang ada diberita atau tidak. Berapa komposisi saham, setelah itu kita punya kesempatan bertanya secara global bon di new priok itu," ujarnya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi menilai Jakarta International Container Terminal (JICT) yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok sesungguhnya merupakan aset negara strategis. Karenanya, seharusnya di kelola negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100 persen.

Untuk itu, mutlak bagi Kementerian BUMN melalui PT Pelindo II untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT kepada perusahaa asing. Pengelolan sepenuhnya oleh BUMN merupakan manfestasi demi kedaulatan ekonomi, seperti yang diamanahkan konstitusi Pasal 33 UUD 1945.

Dia menjelaskan, awalnya 100 persen saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II, sebagai representasi Negara. Pada saat krisis monetemoneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, Pemerintah melakukan privatisasi dengan menjual JICT kepada perusahaa asing, yakni HPH.

Melalui pelelangan terbuka, JICT dijual dengan nilai US$243 fil/ra. Perubahan komposisi kepemilikan saham baru yakni HPH menguasai mayoritas sebesar 51 persen sedangkan Pelindo II sebesar 49 persen dengan jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada 2009 berakhir pada2019.

Sejak 27 Juli 2012, kata Fahmy, Diretur Utama Pelindo II RI Lino sudah merintis proses perpanjangan Kontrak JICT. Namun, lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan Pemerintahan SBY tidak memberikan izin, RI Lino belum bisa memperpanjang kontrak.

"Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemamo justru mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak pada 9 Juni 2015. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN, tanpa izin konsesi Otoritas Pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak JICT pada Juli 2015," ungkapnya.

Keputusan Menteri BUMN tentang Penyusunan RKAP. Selain itu, juga pelanggaran atas UU tentang Pelayaran dan PP No 61/2009 tentang Pelayaran. "Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq. Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok," tukasnya.

Selain melanggar peraturan Perundangan, lanjut dia, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan Negara. Dia menjelaskan, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar US$215 itu lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar US$231 juta.

"Jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp2,99 triliun, sedangkan penghasilan sampai dengan 2039 mencapai Rp 36,5 triliun, total penghasilan Pelindo II sebesar Rp39,49 triliun. Jika kontrak diperparjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp2,99 triliun, penghasilan sampai 2039 Rp17,89 triliun. Total penghasilan Pelindo II sebesar Rp20,85, lebih kecil dibanding pendapatan jika kontrak tidak diperpanjang," jelas mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas ini.

Untuk itu, berhubung perpanjangan kontrak JICT melanggar perundangan dan merugikan Negara, dia mendesak kepada pemerintah untuk membatalkan kontrak perpanjangan JICT yang telah ditandatangani Direktur Utama Pelindo II RI Lino pada Juli 2015.

Dan sebagai pertanggungjawaban, dia juga mendesak Rini Soemarno untuk mengundurkan diri sebagai Menteri BUMN, karena perbuatannya telah melakukan pembiaran dan menudukung upaya Direktur Utama Pelindo II dalam perpanjangan kontrak JICT.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya