Korupsi Gejala Umum Politikus Lupakan Etik dan Moral

KPK gelar keterangan pers terkait penangkapan M Sanusi
Sumber :
  • VIVA/Taufik Rahadian

VIVA.co.id - Politikus senior Andi Mappethang (AM) Fatwa mengatakan bahwa tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi mengindikasikan gejala umum bahwa seorang politikus telah meninggalkan etik dan moral. Karena itu, proses rekrutmen kader partai dan perwakilan partai politik di parlemen harus dicermati ulang.

Suap Proyek Jalan, KPK Periksa Putu Sudiartana

"Jadi seharusnya tidak berdasarkan kecil besarnya modal. Tapi harusnya yang diutamakan adalah kaderisasi berjalan. Jangan sampai kader partai tersingkir dengan pemodal," ujar Fatwa di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 3 April 2016.

Para pemodal itu, kata Fatwa, jika menduduki posisi di parlemen akan digunakan sebagai persinggahan atau mencari dunia baru, bukan sebagai wakil rakyat.

Tujuh Pelanggaran Hukum Jadi Alasan Reklamasi Harus Disetop

"Kalau pebisnis mencari kekuatan politik, lobi-lobi politik. Ini mereka sudah tak lagi murni sebagai perwakilan rakyat, tapi dia hanya perwakilan bisnis," kata Fatwa.

Kata Fatwa, saat ini yang perlu diubah terkait rekrutmen partai adalah masalah dana partai. Pendanaan itu harus diatur secara jelas, diatur dalam Undang-undang yang didukung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Reklamasi Dihentikan, Teluk Jakarta Bisa Jadi Hutan Wisata

"Kalau sekarang ini sudah bukan rahasia lagi bahwa pimpinan partai itu menugaskan kadernya untuk cari dana dalam jabatannya, ini yang rusak. Mencari proyek-proyek, itu yang merusak," kata Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Penyidik KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara  suap pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKl Jakarta terkait Reklamasi Teluk Jakarta. Mereka antara lain, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APL), Ariesman Widjaja; Karyawan PT APL, Triananda Prihantoro serta Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.

Ariesman dan Trinanda diduga telah memberikan suap kepada Sanusi. Suap diduga diberikan terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Penyidikan terus dikembangkan, KPK menyasar kolega-kolega Sanusi di DPRD dan pengembang lain yang mungkin saja ikut terlibat dari perkara suap dalam kasus ini. Pada Minggu, 3 April 2016, KPK mencegah bos Agung Sedayu Grup, Sugiyanto Kusuma alias Aguan, keluar negeri. KPK telah mengirimkan surat permintaan pencegahan ke Direktorat Jenderal lmigrasi di Kementerian Hukum dan HAM. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya