Pakar: Hasil RUU Pilkada Buat KPU Kebakaran Jenggot

Petugas Menyegel Logistik Pemilu di Kantor KPU Solo
Sumber :

VIVA.co.id – Hasil revisi Undang-undang Pilkada yang telah disahkan pada 2 Juli 2016 lalu mendapat berbagai tanggapan, positif dan negatif. Sejumlah pasal dalam UU tersebut diapresiasi dan dikritisi.

KPU Minta Masa Jabatan Penyelenggara Pemilu di Daerah Diperpanjang

Dalam perubahan UU tersebut, sejumlah pihak dinilai memperkuat penyelenggara Pilkada, akan tetapi juga ada pasal yang justru melemahkan penyelenggara kontestasi demokrasi tersebut. Terkait itu, pakar komunikasi politik, Lely Arrianie, berujar bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti kebakaran jenggot, lantaran kepentingannya tidak diakomodasi.

Justru sejumlah kewenangannya dibatasi seperti wajib mengikuti rekomendasi wakil rakyat dalam menyusun suatu aturan, waktu verifikasi faktual yang dipersingkat dan lainnya.

Koruptor Tak Boleh Maju Harus Diatur di UU Pilkada dan PKPU

"Mungkin KPU jadi kebakaran jenggot karena mikir kepentingan mereka tidak terakomodasi. Hak mereka terdegradasi," ungkap Lely, dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 11 Juli 2016.

Menurut Lely, sebab kebakaran jenggot karena mayoritas publik di dalam negeri ini belum matang, menerima setiap perubahan regulasi atau UU. Akibatnya, perubahan apapun yang dilakukan selalu berujung dengan perasaan.

KPU Paksa Parpol Penuhi 30 Persen Kuota Perempuan

"Padahal membuat UU tidak boleh berdasarkan perasaan. Makanya, subjektivitas itu muncul. Pada akhirnya akan muncul kalimat 'kok tidak sesuai ya dengan kepentingan dan lain sebagainya'," kata dia.

Untuk diketahui, salah satu pasal yang dinilai mengurangi kemandirian KPU termuat dalam Pasal 9 (a) UU Pilkada. Bunyinya yakni, tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan meliputi menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.

Selain itu, ada juga dalam pasal 48 UU Pilkada soal verifikasi faktual. Isinya jika pendukung calon perseorangan tidak bisa ditemui PPS dalam verifikasi faktual di alamatnya, pasangan calon diberi kesempatan menghadirkan mereka ke kantor Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam waktu tiga hari. Jika tenggat itu tak dipenuhi, dukungan dicoret.

Padahal, dalam Peraturan KPU nomor 9 tahun 2015, tidak ada batasan khusus terhadap waktu klarifikasi ke alamat pendukung. PKPU mengatur, jika pendukung tidak berada di tempat, tim pasangan calon perseorangan dapat membawa mereka ke kantor PPS kapan saja selama 14 hari masa verifikasi faktual.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya