Novanto: Alhamdulillah MK Ubah Makna Permufakatan Jahat

Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bayu Nugraha

VIVA.co.id - Gugatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto terkait frasa 'permufakatan jahat' telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Novanto mengaku bersyukur dan mengapresiasi putusan MK yang mengikat itu.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

"Saya mengucapkan syukur alhamdulillah, gugatan tersebut dikabulkan oleh MK dan keputusan MK tersebut bersifat mengikat atau final and binding," kata Novanto dalam siaran persnya, Rabu, 7 September 2016.

Menurut Novanto, dari putusan MK itu, maka tidak semua pihak dapat melakukan penyadapan. Adapun penyadapan, lanjut dia, boleh dilakukan jika ada perintah dari penegak hukum.

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

"Sehingga dalam kasus saya penyadapan itu bukan barang bukti yang sah, karena direkam tanpa sepengetahuan saya apalagi penegak hukum," ujar Novanto.

Namun, kata Novanto, secara pribadi ia dan keluarga sudah ikhlas menerima kasus rekaman yang melibatkan petinggi perusahaan asal Amerika Serikat PT Freeport beberapa waktu lalu itu. Ia juga telah ikhlas melepas posisi atau jabatannya sebagai Ketua DPR.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

"Saya yakin Allah SWT mempunyai rencana lain untuk saya, sehingga saya dan keluarga tetap menjalani kehidupan seperti biasanya," kata Setya Novanto.

Seperti diketahui, frasa tersebut sebelumnya tercantum dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Atas putusan itu, frasa kini dimaknai 'permufakatan jahat' adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana. Jika tidak dimaknai seperti pengertian tersebut, Majelis berpendapat bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945. Bahkan, Mahkamah menilai frasa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tersebut.

Novanto mengajukan uji materi terkait Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 88 KUHP menyatakan:

"Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan".

Sementara, Pasal 15 UU Tipikor menyatakan "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14".

Novanto ketika menjabat menjadi Ketua DPR pernah terjerat dugaan permufakatan jahat terkait saham PT Freeport atau yang lebih dikenal dengan kasus 'papa minta saham'. Kejaksaan Agung bahkan pernah membuka penyelidikan terkait hal tersebut.

Pada permohonannya, Novanto menilai bahwa pengertian tentang 'pemufakatan jahat' dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.

Pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP, menurut dia, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, maka dinilai akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan. Sebagaimana diakui oleh Novanto, saat ini dialaminya.

Pada pemberitaan di media massa, Novanto menilai bahwa dia cenderung diberitakan terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT Freeport Indonesia. Padahal, ia berkilah bahwa hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.

Dalam kasus Pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif, seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu.

Berdasarkan dalil tersebut, Setnov meminta frasa "pemufakatan jahat" dalam pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK karena ketidakpastian hukum dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya