VIVA.co.id – Aturan main Pemilu 2019 tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah. Rancangan yang diajukan pemerintah, menetapkan angka Presidential Threshold untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara hasil Pemilu 2014. Besarnya syarat pencalonan itu mengundang sejumlah kritik.
"Kalau nanti dipaksakan besar, ada konsekuensi dari yang besar itu adalah akan muncul hanya dua kandidat yang akan head to head dan akan mengulangi peristiwa pemilu 2014. Di mana Pak Jokowi nanti kemungkinan besar akan berhadapan dengan Pak Prabowo kembali, head to head," kata Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, di Istana Presiden, Jakarta, Senin 23 Januari 2017.
Dalam pembahasan perubahan undang-undang pemilu oleh pemerintah dengan DPR, usulan presidential threshold atau ambang batas pemilu presiden terbagi dua. Ada yang tetap menginginkan dinaikkan atau tetap semula yakni 20 persen. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, ambang batas adalah nol.
Priyo mengaku setuju kalau ambang batas adalah nol. Ia juga mengusulkan agar Partai Golkar di bawah Ketua Umum Setya Novanto, tidak memaksakan angka 20 persen.
Ambang batas yang tinggi, juga tidak memberi kesempatan pada kandidat lainnya. Sehingga, masyarakat akan dihadapkan pada dua kandidat lagi. Tidak hanya itu, memanasnya situasi politik pada 2014 di mana antara dua kandidat kala itu, juga bisa terulang kembali di 2019.
"Kalau itu terjadi suasana perpolitikan yang berubah semacam ini ya bisa kembali lagi," katanya.
Untuk itu, menurutnya berdasarkan putusan MK dan kondisi saat ini, menggunakan ambang batas untuk pilpres sudah tidak relevan lagi. "Dan ini menjadi lebih baik di-nol kan saja," kata Wakil Ketua DPR 2009-2014 itu. (one)