- VIVA.co.id/ Lilis Khalisotussurur.
VIVA.co.id – Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengaku tidak sepakat dengan adanya usulan hak angket untuk menyelidiki dugaan penyadapan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Arsul isu penyadapan ini adalah persoalan hukum.
"Yakni dugaan pelanggaran hukum dalam bentuk penyadapan, yang jika terbukti merupakan pelanggaran terhadap UU Telekomunikasi dan UU ITE," kata Arsul dalam pesan tertulis yang diterima, Kamis 2 Februari 2017.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan jika masalahnya menyangkut dugaan pelanggaran hukum pidana, maka yang harus digunakan adalah instrumen hukum. Bukan instrumen politik lewat angket, meskipun itu adalah hak anggota DPR.
"Toh yang perlu diselidik adalah tim penasehat hukumnya Ahok, terutama Humphrey Djemat, yang menggelindingkan dan mengangkat masalah ini," ujar Arsul.
Sementara itu anggota Komisi III yang lain, Masinton Pasaribu juga mempertanyakan urgensi pengajuan hak angket. Menurut dia syarat pengajuan angket adalah adanya keresahan publik secara luas akan suatu hal.
"Jika ada yang ingin menginisiasi silakan. Tapi saya melihat urgensi hak angket itu apa? Yang merasa tersadap kan (SBY), itu pun baru merasa. Nah, apakah ada publik lain merasa tersadap juga? Kan nggak ada juga," tegas Masinton.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny Kabur Harman, mengusulkan hak angket guna menyelidiki dugaan penyadapan pembicaraan SBY dengan Rois Am PBNU KH Ma'ruf Amin.
"Bagi Komisi III DPR RI, skandal penyadapan tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan UU ITE, dan telah berdampak luas dan sistemik terhadap kepentingan masyarakat," kata Benny. (ren)
