Hakim Didesak Hadirkan 'Penyadap' Percakapan SBY-Ma'ruf

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki ruang sidang.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Pool/Resa Esnir

VIVA.co.id - Anggota Komisi I DPR, Elnino Husein Mohi, mengatakan bahwa pengadilan perlu menghadirkan pihak yang melakukan penyadapan pembicaraan antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin sebagai saksi dalam lanjutan sidang dugaan penistaan agama atas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

KPK Minim OTT, Alex Marwata: Banyak Pejabat Negara Sudah Tahu HP Disadap

Dengan demikian, kata Elnino, akan bisa dibuktikan, apakah pernyataan Ahok dengan tim kuasa hukumnya bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Sebab, jika tidak, pernyataan tersebut hanya sebagai hoax.

"Kita berharap pengadilan menghadirkan si perekam sebagai saksi. Tanpa kehadiran perekam, maka itu dianggap hoax," kata Elnino dalam pesan singkatnya, Jumat 3 Februari 2017.

Komisi Yudisial Minta ke DPR Bisa Langsung Sadap Hakim Secara Mandiri

Elnino juga ingin, masalah penyadapan ini diusut tuntas oleh pemerintah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Alasannya jika tidak, masalah yang lebih besar akan terjadi lagi.

"Kalau pemerintah tidak mengusut masalah ini secara serius, maka akan ada kegaduhan dahsyat lagi di republik ini. Sebab isunya adalah hak asasi setiap WNI dalam berkomunikasi," ujar politikus Partai Gerindra itu.

Soal Autopsi Brigadir J dan Penyadapan HP, Keluarga: Mana Hasilnya

Tak lupa, ia mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar tidak memperlihatkan keberpihakannya secara hukum dalam kasus Ahok. Meski, keduanya berasal dari basis kekuatan politik yang sama yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

"Presiden sebagai pribadi dan petugas partai wajar saja membantu saudara separtainya secara politik. Tetapi mohon sebagai Presiden tidak memperlihatkan keberpihakan secara hukum," tegas dia.

Awal mula isu penyadapan itu mengemuka adalah ketika pengacara Ahok, Humphrey Djemat, mencecar Ma'ruf soal pertemuannya dengan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, di kantor PBNU pada Jumat, 7 Oktober 2016. Setelah itu, Humphrey menanyakan apakah sebelum pertemuan itu ada pembicaraan dengan SBY melalui telepon pada pukul 10.16 WIB, sebelum salat Jumat.

Humphrey yang juga Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz itu menyatakan bahwa isi pembicaraan adalah soal, pertama, mengenai permintaan agar pertemuan dengan Agus-Sylvi agar diatur. Kedua, SBY meminta supaya segera dikeluarkan fatwa untuk masalah penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Mendengar pertanyaan itu, Ma'ruf menjawab tidak ada. Humphrey pun menanyakan pertanyaan tersebut hingga dua kali dan kembali dijawab tidak ada oleh Ma'ruf.

"Majelis hakim, sudah ditanya berulang kali katanya tidak ada. Untuk itu kami akan memberikan dukungannya. Ya Mejelis Hakim, andai kata kami sudah memberikan buktinya dan ternyata keterangannya ini masih tetap sama maka kami ingin menyatakan saudara saksi ini telah memberikan keterangan palsu dan minta diproses sebagaimana mestinya," kata Humphrey.

Saat giliran berbicara, Ahok menyatakan Ma'ruf menutupi riwayat hidupnya yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres SBY. Dia pun berterima kasih pada Ma'ruf yang konsisten menyatakan tidak berbohong.

"Saudara saksi, saya berterima kasih. Ngotot di depan hakim bahwa saudara saksi tidak berbohong, akhirnya meralat ini. Banyak pernyataan tidak berbohong, kami akan proses secara hukum saudara saksi," kata Ahok.

Setelah itu, Ahok menyatakan bahwa pihaknya memiliki data yang sangat lengkap. Dia pun akan membuktikan satu per satu sehingga bisa membuat Ma'ruf dipermalukan.

Adanya ancaman terhadap Ma'ruf, dan juga penegasan adanya bukti, data, yang kuat atas pembicaraan Ma'ruf dengan SBY melalui telepon segera memancing respons publik secara luas. Mereka mengecam sikap Ahok dan tim pengacaranya. Isu adanya penyadapan pun menggelinding begitu cepat.

Situasi tersebut yang juga akhirnya membuat SBY menggelar konferesi pers. Ia menyatakan bahwa penyadapan atas dirinya adalah ilegal atau tidak sah, dan melanggar hukum.

SBY juga memohon pada Presiden Jokowi agar memberikan penjelasan mengenai penyadapan tersebut. Dari mana transkrip atau sadapan itu, siapa yang menyadap.

Alasannya, penyadapan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Berdasarkan yang dia tahu, hanya institusi negara seperti Polri, BIN, atau KPK dalam konteks pemberantasan korupsi, yang berhak melakukannya.

Oleh karena itu, SBY meminta Polri bertindak. Sebab, penyadapan ilegal bukan merupakan delik aduan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya