Pelapor Kasus Penodaan Agama Diminta Jadi Hak Lembaga

Ketua Umum PP PMKRI, Angelo Wake Kako. PMKRI melaporkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Rizieq Shihab.
Sumber :
  • Danar Dono

VIVA.co.id – Panitia Kerja atau Panja Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan perwakilan organisasi keagamaan terkait dengan rancangan revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) soal pasal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama. Hal itu dimuat dalam Pasal 348 hingga Pasal 353.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Ketua Hukum dan HAM Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Yanto Jaya menilai bahwa draf RUU KUHP masih membutuhkan perbaikan di sejumlah hal.

Misalnya kata dia, soal pelaporan pelaku dugaan penodaan, penistaaan, penghinaan terhadap agama tak layak dilakukan oleh hanya individu seperti yang terjadi saat ini. Menurut Yanto, lebih tepat pelaporan kasus tersebut harus oleh lembaga keagamaan yang ada.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

"Jadi hanya lembaga agama yang bisa mengajukan itu pelaporan, bukan orang per orang. Definisinya mereka (penodaan, penistaan, penghinaan) rancu,"  ujar Yanto di Gedung DPR, Jakarta, Senin 6 Februari 2017.

Sebab kata Yanto, lembaga keagamaan yang paling paham jikalau tindakan seseorang itu telah menodai, menistakan dan menghina agama sesuai dengan ajaran dan aturan dalam agama masing-masing.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

"Lembaga agama paling tahu. Jadi bukan orang per orang. Mereka bisa laporkan kepada lembaga keagamaannya masing-masing. Nah lembaga keagamaan akan menilai, jika cukup bukti bisa melaporkan itu ke aparat penegak hukum," ungkap Yanto.

Yanto juga mengusulkan, perlunya mediasi sebelum pelaporan akan dugaan tindakan penodaan, penistaan dan penghinaan agama dilayangkan ke Kepolisian.

Alasannya, lewat mediasi akan bisa ditentukan dugaan tindakan yang dilakukan seseorang tersebut akan berpotensi besar atau tidak di masyarakat.

Selain itu, dibahas pula agar denda yang dibebankan bagi pelaku penodaan, penistaan dan penghinaan kepada agama tidak terlampau berat seperti yang diatur dalam RUU KUHP saat ini yakni denda kategori III maksimal Rp120 juta.

"Denda tidak sebesar itu, kalau bisa dendanya kategori yang lebih ringan. Kami lihat orang berkata, bersilat lidah, bisa tidak sengaja sehingga bisa dikenakan dendanya lebih ringan," kata Yanto.

Tak berbeda, Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Agustinus Ulahayanan juga sependapat bahwa masalah pelaporan tersebut baiknya diserahkan kepada lembaga keagamaan. Tujuannya agar orang tidak seenaknya melaporkan seseorang atas dugaan melakukan penodaan agama.

"Agama itu lembaga bukan individu kalau kita mengerti dengan baik filsofi bahasanya. Makanya anggota komunitas agama datangilah lembaga keagamaan, bicarakan. Nantinya kalau perlu dibawa ke ranah hukum ya diajukan saja," kata Agustinus.

Ia juga menekankan bahwa negara menganut prinsip toleransi yang tinggi. Oleh sebab itu masalah dugaan penodaan, penistaan dan penghinaan agama diselesaikan dengan cara mediasi bukan lewat peradilan.

"Ini yang harus ditempuh kalau ada salah ya selesaikan dengan empat mata. Proses penyelesaian harus memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan," lanjut Agustinus.

Ia juga meminta agar hukuman denda yang ada dalam RUU KUHP diubah menjadi lebih ringan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya