DPR Soroti Hukuman Ringan Pelaku Kartel Pangan

Kenaikan harga cabai
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron, mengusulkan perlunya satuan wilayah produksi pertanian untuk kedaulatan pangan. Misalnya di Cianjur untuk padi organik, Karawang padi hibrida, Brebes untuk bawah merah, Lembang Bandung untuk sayur-mayur, Sulawesi untuk holtikultura, dan sebagainya.

BPS Sumsel Rilis Nilai Tukar Petani, Naik 2,97 Persen pada Maret

"Selain itu panjangnya mata rantai distribusi hasil pertanian yang panjang, yang sampai 8 hingga 9 tingkatan dari petani, distributor, pengepul sampai ke pedagang. Di samping adanya pemilihan kualitas produk, maka harga cabai menjadi Rp180 ribu/kg," kata Herman Khaeron saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 10 Maret 2017.

Herman menjelaskan 80 persen hasil pertanian seperti beras, kedelai, jagung, kacang, bawang, garam, sayur-mayur, cabai, dan buah-buahan selama ini diproduksi oleh rakyat. Bukan oleh kartel. Karena itu Herman meminta pemerintah berterima kasih kepada rakyat, yang masih bersedia bertani.

Salah Sasaran! 5 Turis Dibunuh Kartel Narkorba dengan Sadis

Namun, jika ada gerakan tanam cabai di setiap rumah juga membahayakan petani. Sebab, kalau harga cabai sampai anjlok, maka mereka bisa beralih menjadi petani yang lain, dan di sinilah perlunya satuan wilayah produksi pertanian tersebut.

"Jangan sampai Jakarta terpengaruh dengan distribusi cabai dari Sulawesi karena harganya akan sangat mahal akibat dikirim melalui pesawat," ujar Politisi Demokrat ini.

Seribu Ton Beras Impor Masuk Pulau Sumbawa, Anggota DPR: Mencekik Petani

Ditambah lagi belum ada institusi negara yang bisa diperintahkan untuk mengatasi kelangkaan dan melonjaknya harga-harga tersebut. Bulog misalnya, hanya menangani beras, gula, tepung terigu, dan sebagainya, sehingga tetap melahirkan kartel-kartel, sedangkan yang mampu melawan kartel tersebut hanya pemerintah.

Karena itu, kata Herman, pihaknya akan berkoordinasi dengan Menteri Pertanian untuk merumuskan kebijakan tersebut. Di samping perlu badan pangan nasional yang bisa langsung menangani produksi, distribusi, pengadaan dan lain-lain untuk mendekatkan produksi kepada konsumen. Sementara Kemendag RI terlalu banyak jenis pertanian yang ditangani.

Sementara itu, anggota Komisi VI, Eka Sastra, menilai lahirnya kartel dan oligarki tersebut akibat tidak terbangunnya tata niaga, petani tidak berdaya, dan tak mempunyai bergaining menghadapi korporasi.

"Seharusnya kita membatasi sistem kuota dengan menerapkan sistem tarif. Apalagi kalau hanya 5-10 orang yang menguasai pasar, inilah yang harus diseimbangkan. Dan itu dibutuhkan intervensi negara, agar tak sepenuhnya diserahkan ke pasar," ucap Politisi Golkar ini.

Selain itu, mengubah pertanian dari tradisional ke modern perlu didorong agar tidak tergantung kepada hujan, tidak mengalami kelangkaan dan harga terus naik. Sebab, struktur pasar yang oligarki dengan pasar yang dikuasai beberapa orang, justru mendorong harga melambung tinggi.  "Anehnya negara belum hadir," ungkapnya.

Dari kacamata hukum, Anggota Komisi III, Masinton Pasaribu, menilai, hukuman untuk kartel ini masih ringan, hanya dipenjara selama 6 bulan. Kartel akan lebih memilih dipenjara dibanding denda Rp25 miliar, sesuai UU nomor 55 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

"Jadi, menjadi tantangan kepolisian untuk membongkar kongkalikong, kartel, monopoli dan oligarki harga-harga itu," tegasnya.

Sebelumnya, diberitakan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, meminta kepada Kepolisian untuk menangani kasus dugaan kartel cabai rawit merah. Dengan melakukan penyelidikan hingga tuntas sampai ke akarnya, tanpa ampun. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya