- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Sahroni, mengatakan pengguliran hak angket e-KTP sekadar bentuk kontrol dan pengawasan DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menekankan, pihak DPR tak sedang berupaya melakukan perlawanan terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
"Angket ini bukan soal e-KTP, bukan soal BLBI. Ini murni sebagai bentuk pengawasan dan kontrol terhadap kinerja KPK sebagai mitra kerja kita, yang selama ini belum terjawab dalam rapat-rapat dengan Komisi III," ujar Sahroni di Jakarta, Minggu, 30 April 2017.
Sahroni meminta masyarakat tidak memandang angket e-KTP yang disahkan dalam paripurna, dua hari lalu, sebagai upaya pelemahan KPK oleh DPR. Menurut dia,pengguliran hak angket adalah sesuatu yang wajar dilakukan lembaga legislatif terhadap mitra kerjanya di pemerintah.
"Kita sebagai pengawas dan kita mau meminta pertanggungjawaban. Tapi, opini yang berkembang, justru DPR akan melemahkan KPK," katanya. .
Sahroni menjamin pengguliran angket tak akan berpengaruh terhadap proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi e-KTP. "Kita tidak mau mencampuri semua kasus hukum yang sedang ditangani KPK," ujar Sahroni.
Dianggap Sepihak
Seperti diberitakan, pengguliran hak angket dilakukan saat proses penegakan hukum terhadap kasus e-KTP berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Adapun paripurna dua hari lalu yang mengesahkan angket e-KTP juga mendapat kecaman dari berbagai pihak termasuk internal DPR karena dilakukan sepihak oleh Fahri Hamzah sebagai pimpinan sidang.
Salah satu pengguliran angket e-KTP terkait tujuh indikasi ketidakpatuhan KPK, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK tahun 2015 terkait tata kelola anggaran, yang menjadi salah satu alasan angket digulirkan. Ketujuh indikasi itu adalah:
1. Kelebihan pembayaran gaji pegawai KPK yang belum diselesaikan atas Pelaksanaan Tugas Belajar;
2. Belanja barang pada Direktorat Monitor Kedeputian Informasi dan Data yang tidak dilengkapi dengan pertanggungjawaban yang memadai dan tidak sesuai mata anggarannya;
3. Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Sewa dan Belanja Jasa Profesi pada Biro Hukum;
4. Kegiatan Perjalanan Dinas pada Kedeputian Penindakan yang Tidak Didukung dengan Surat Perintah;
5. Standar Biaya Pembayaran atas Honorarium Kedeputian Penindakan;
6. Realisasi Belanja Perjalanan Dinas Biasa tidak sesuai dengan Ketentuan Minimal;
7. Perencanaan Gedung KPK tidak cermat sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran. (ren)