DPR Belum Sekata soal TNI Terlibat Pemberantasan Terorisme

TNI saat latihan bersama dengan pasukan Australia.
Sumber :
  • Australian Defence Force/Handout via REUTERS

VIVA.co.id - Dewan Perwakilan Rakyat belum satu kata tentang usulan pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme. Parlemen masih mengkaji aspek manfaat dan mudaratnya melalui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Siswa SMA Buat Prank Teror Bom Koja Trade Mall Bawa Nama Noordin M Top Saat Kelas Berlangsung

Secara umum ada dua pandangan fraksi-fraksi di DPR tentang urgensi pelibatan TNI. Satu pihak menganggap Polri butuh dukungan TNI. Di lain pihak khawatir keterlibatan TNI justru melanggar kaidah penegakan hukum karena militer lebih berfungsi sebagai pertahanan negara.

“Jadi, masih pro dan kontra—fraksi-fraksi (DPR) pro dan kontra. Perlu dikaji ulang wacana TNI masuk dalam RUU Terorisme; lebih banyak manfaat atau mudaratnya,” kata Dwi Ria Latifa, anggota Komisi Bidang Hukum DPR, dalam perbincangan tvOne pada program Apa Kabar Indonesia pada Sabtu, 3 Mei 2017.

Polisi Tangkap 6 Siswa SMA yang Prank Teror Bom Koja Trade Mall Bawa Nama Noordin M Top

Latifa menjelaskan, secara prinsip, DPR dan Pemerintah menyadari ancaman terorisme kian masif, bukan hanya karena peristiwa bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, pada Rabu malam, 24 Mei.

DPR dan Pemerintah, katanya, memahami bahwa pemberantasan terorisme tak cukup hanya Polri dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror. TNI bisa terlibat dan membantu Polri. Tapi masalahnya dikhawatirkan terjadi tumpah tindih tugas dua institusi itu.

Dua Kali Dapat Ancaman Bom, Menara Eiffel Kembali Dikosongkan

“Ada kekhawatiran tumpang tindih peran TNI dan Polri. Kita masih mencari solusinya. Yang penting kita sepakat dulu: kita harus memberantas terorisme,” kata Latifa.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat intelijen, John Mempie, mencurigai ada kepentingan tertentu di balik keinginan pemerintah agar pembahasan rancangan undang-undang itu dipercepat. Apalagi kemudian berkembang wacana pelibatan TNI.

John mengingatkan, terorisme bukan lagi hanya tindak pidana, melainkan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Maka pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme harus hati-hati dan tidak tergesa-gesa meski ancaman terorisme memang kian masif.

Wacana pelibatan TNI, kata John, sesungguhnya masalah utamanya karena TNI dan Polri dipisahkan pada 1999. Setelah sekian lama dua institusi itu berpisah, satu berfungsi pertahanan negara dan yang lain penegakan hukum, barulah dirasakan ada kelemahan, terutama ketika berkaitan dengan ancaman terorisme internasional.

“Harusnya semua itu (TNI dan Polri) jadi satu. Terorisme bukan tindak pidana, tapi extra ordinary crime,” kata John.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya