Lima Poin Krusial UU Pemilu yang Diketuk Paripurna DPR

Kotak Suara Pemilu/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Sidang Paripurna DPR pada Kamis, 20 Juli 2017 mengesahkan revisi Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu menjadi undang-undang. Ada lima poin krusial yang diputuskan dalam paripurna. Lima poin itu terdapat dalam opsi paket A yang diperjuangkan koalisi parpol pendukung pemerintah minus PAN.

Mahfud MD: Keputusan Sudah Ada, Negara Harus Terus Jalan

Sebelum mengambil keputusan, proses dalam paripurna berlangsung alot dengan beberapa kali harus diskors. Bahkan, tiga pimpinan sidang paripurna yaitu Agus Hermanto (Fraksi Demokrat), Taufik Kurniawan (F-PAN), dan Fadli Zon (F-Gerindra) harus ikut fraksinya untuk walk out.

Dalam paket A ini ada lima poin yaitu ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20/25 persen, ambang batas parlemen atau ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10, dan metode konversi suara: sainte lague murni.

M Taufik Bantah Pendukung Prabowo-Sandi Ikut Serta dalam Aksi 22 Mei

Berikut penjelasan singkat terhadap lima poin tersebut:

- Presidential Threshold 20/25 persen

Sikapi Pemilu 2019, Hayono Isman: Indonesia Dibangun atas SARA

Poin ini yang menjadi persoalan dan perdebatan antarfraksi di DPR. Sejak pembahasan Pansus RUU Pemilu, poin ini sudah menjadi perdebatan. Kekompakan koalisi parpol pemerintah pun terpecah karena poin ini. PAN dan PKB sempat menolak usulan PDIP dan pemerintah yang tetap ngotot di angka 20/25 persen. Terakhir PKB setuju, namun PAN menolak.

Saat pengambilan keputusan tingkat I pada Kamis, 13 Juli 2017 masih mentok antara Pansus RUU Pemilu dengan pemerintah. Mentoknya di rapat tingkat I mesti membawa pembahasan poin ini ke pembahasan tingkat II atau forum paripurna, pada Kamis, 20 Juli 2017.

Dengan angka 20/25 persen, maka pengajuan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2019 akan sama dengan Pilpres 2009 dan 2014. Persoalan presidential threshold menjadi pro dan kontra karena di Pemilu 2019, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif digelar serentak. Aturan angka presidential threshold tidak dibahas dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

"Argumentasi sederhananya tidak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk pencalonan presiden. Karena pemilu digelar serentak sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Jumat, 21 Juli 2017.

Pengertian angka 20/25 persen bahwa perlunya 20 persen jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25 persen suara sah nasional bagi bakal calon presiden serta bakal calon wakil presiden untuk maju. Pengajuan ini mesti didukung parpol atau koalisi parpol gabungan.

- Sistem Pemilu Terbuka

Poin sistem pemilu hampir tak ada persoalan antarfraksi. Poin ini hampir disetujui seluruh fraksi di DPR. Sempat ada perdebatan antara sistem pemilu proporsional terbuka dengan sistem terbuka terbatas.

Dalam isu ini, koalisi masyarakat sipil sempat memprotes sistem pemilu terbuka terbatas yang sempat didorong pemerintah serta fraksi PDIP dan Golkar. Saat itu, dalam draf RUU Pemilu Pasal 138 ayat (2) dan (3), pemerintah sempat mengusulkan sistem pemilihan terbuka terbatas.

Dengan sistem pemilu terbuka dianggap punya kelebihan karena menempatkan rakyat sebagai pemilih penting untuk memilih langsung. Artinya, dengan mekanisme ini, rakyat bisa memilih wakilnya secara nyata sesuai pilihannya untuk melihat wakil rakyatnya yang pantas dipilih. Suara terbanyak yang dipilih rakyat akan lolos menjadi wakil rakyat.

"Sistem ini bisa memperbaiki partai, artinya memilih kader yang bagus untuk diusung," ujar pengamat politik Ray Rangkuti, Jumat, 21 Juli 2017.

Ray juga menilai dengan sistem pemilu terbuka, pemilih juga punya interest dengan wakil yang dipilihnya. Hal ini membuat wakil rakyat lebih punya tanggung jawab kepada konstituennya karena dikenal langsung. Berbeda dengan sistem pemilu tertutup. Mekanisme ini mengacu nomor urut seperti dua nomor teratas berpeluang lolos menjadi wakil rakyat.

- Parliamentary Threshold 4 persen

Salah satu poin yang diperjuangkan parpol baru agar angkanya bisa diturunkan dari 3,5-4 persen. Angka ambang batas parlemen pada Pemilu 2014 adalah 3,5 persen. Artinya, untuk Pemilu 2019 yang digelar serentak mengalami kenaikan 0,5 persen.

Pengertian parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk ikut serta dalam penentuan perolehan kursi di DPR serta DPRD. Bagi parpol yang ingin ada di parlemen maka harus mendapatkan minimal 4 persen suara sah nasional.

Perdebatan poin ini juga sempat memanas karena Golkar sempat mengusulkan agar ambang batas parlemen menjadi 7-10 persen. Angka ini melampaui usulan pemerintah dan parpol lain seperti PDIP yang berkisar 3,5-4 persen. Angka diusulkan tinggi agar ada penyederhanaan partai di parlemen.

- Alokasi Kursi: 3-10

Poin ini tak ada perubahan dengan pemilu sebelumnya. Dengan angka 3-10 maka setiap daerah pemilihan (dapil) minimal 3 kursi dan maksimal 10 kursi. Dari lima opsi yang ditawarkan, empat paket termasuk A menawarkan 3-10 kursi.

Dalam pembahasan RUU Pemilu di pansus sempat diusulkan agar ada angka 3-8. Beberapa fraksi seperti PAN mengusulkannya. Namun, dalam keputusan final di paripurna terpilih paket A yang ada poin besaran kursi 3-10.

Adapun Pansus DPR dan pemerintah sepakat ada penambahan 15 kursi anggota DPR untuk periode 2019-2024. Dengan penambahan 15 kursi maka ada 575 anggota DPR.

- Konversi Suara: Sainte Lague Murni

Poin ini juga menajdi salah satu isu yang belum ada kesepakatan dalam Pansus RUU Pemilu hingga keputusan tingkat pertama dengan pemerintah pada Kamis, 13 Juli 2017. Ada dua opsi yang sudah mengerucut yaitu: Kuota Hare dan Sainte Lague murni.

Dalam proses pembahasannya, metode konversi suara Sainte Lague Murni didorong beberapa fraksi di antaranya PDIP, Golkar, dan PPP. Sementara itu, Kuota Hare didukung Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN.

Metode Sainte Lague Murni menggunakan pembagian suara berangka ganjil. Artinya, perolehan masing-masing partai dibagi dengan angka bilangan pembagi ganjil secara konstanta.

"Di mana hasil pembagian diperingkat. Maka ranking yang sesuai dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Itu yang akan mendapatkan kursi. Jadi kalau di dapil ada 7 kursi, maka ranking 1-7 yang akan dapat kursi," tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Jumat, 21 Juli 2017.

Kajian Perludem menyatakan metode penghitungan suara ini memengaruhi derajat proporsionalitas suara dan jumlah perolehan kursi partai. Di Indonesia, terdapat dua rumpun metode penghitungan suara yang digunakan, yaitu Kuota dan Divisor.

Sementara itu, Kuota Hare adalah metode konversi suara dengan cara dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (vote atau v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (seat atau s).

Ada dua tahapan yang dilalui untuk mengonversi suara menjadi kursi di parlemen melalui teknik penghitungan Kuota Hare atau yang lebih dikenal dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Salah satunya, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus v/s.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya